Tuesday, March 31, 2009

Enam Pertanyaan Imam al-Ghazali

Suatu hari, Imam al-Ghazali berkumpul dengan murid-muridnya. Lalu Imam beliau bertanya bebeapa hal.

Pertama, “Apa yang paling dekat dengan diri kita di dunia ini?. “

Murid-muridnya ada yang menjawab orang tua, guru, teman, dan kerabatnya. Imam al-Ghazali menjelaskan semua jawaban itu benar. Tetapi yang paling dekat dengan kita adalah “Mati”. Sebab itu sudah janji Allah SWT bahwa setiap yang bernyawa pasti akan mati. (QS. Ali Imran 185)


Lalu Imam al-Ghazali meneruskan pertanyaan yang kedua. “Apa yang paling jauh dari diri kita di dunia ini?”.

Murid-muridnya ada yang menjawab negara Cina, bulan, matahari, dan bintang-bintang. Lalu Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa semua jawaban yang mereka berikan adalah benar. Tapi yang paling benar, ujarnya, adalah “MASA LALU.”

Bagaimanapun kita, apapun kendaraan kita, tetap kita tidak bisa kembali ke masa lalu. Oleh sebab itu kita harus menjaga hari ini dan hari-hari yang akan datang dengan perbuatan yang sesuai dengan ajaran Agama.


Lalu Imam al-Ghazali meneruskan dengan pertanyaan yang ketiga. “Apa yang paling besar di dunia ini?”.

Murid-muridnya ada yang menjawab gunung, bumi, dan matahari. Semua jawaban itu benar kata Imam Ghozali. Tapi yang paling besar dari yang ada di dunia ini adalah “Nafsu” (QS. Al- a’araf: 179). Maka kita harus hati-hati dengan nafsu kita, jangan sampai nafsu membawa kita ke neraka.


Pertanyaan keempat adalah, “Apa yang paling berat di dunia ini?”.

Ada yang menjawab baja, besi, dan gajah. Semua jawaban sampean benar, kata Imam Ghozali, tapi yang paling berat adalah “memegang AMANAH” (QS. Al Ahzab 72). Tumbuh-tumbuhan, binatang, gunung, dan malaikat semua tidak mampu ketika Allah SWT meminta mereka untuk menjadi kalifah (pemimpin) di dunia ini. Tetapi manusia dengan sombongnya menyanggupi permintaan Allah SWT, sehingga banyak dari manusia masuk ke neraka karena ia tidak bisa memegang amanahnya.


Pertanyaan yang kelima adalah, “Apa yang paling ringan di dunia ini?”.

Ada yang menjawab kapas, angin, debu, dan daun-daunan. Semua itu benar kata Imam al-Ghazali. Namun menurut beliau yang paling ringan di dunia ini adalah ‘meninggalkan SHALAT’. Gara-gara pekerjaan kita tinggalkan shalat, gara-gara meeting kita juga tinggalkan shalat.


Lantas pertanyaan keenam adalah, “Apakah yang paling tajam di dunia ini?”.

Murid-muridnya menjawab dengan serentak, pedang. Benar kata Imam al-Ghazali. Tapi yang paling tajam adalah “lidah MANUSIA”. Karena melalui lidah, manusia dengan gampangnya menyakiti hati dan melukai perasaan saudaranya sendiri.

Pemekaran Suku Minangkabau

Pemekaran Suku
Semakin banyak anak perempuan dilahirkan dalam satu suku, semakin cepat suku itu berkembang dan menjadi besar.
Ini bukanlah lantaran hukum alam, hanya wanita yang dapat melahirkan tapi justru karena ketentuan adat Minangkabau yang menetapkan garis keturunan garis ibu.

Sebaliknya bila sedikit anak perempuan dilahirkan dalam satu suku, maka menciutlah suku itu dengan cepat, dan kalau tidak ada anak perempuan yang dilahirkan pada generasi terakhir maka "Punahlah" suku itu.
Hal inilah yang sangat merisaukan orang Minang, karena pupuslah keturunannya di ranah Minang. Begitu pula seorang pria Minang kawin dengan wanita bukan Minang, maka bagi yang bersangkutan "putuslah" hubungan kekerabatannya dengan ranah Minang. Tidak ada kompromi dan toleransi dalam hal ini siapapun dan jabatan apapun dia.
Yang mungkin untuk menghindarkannya hanya menerapkan azas "Malakok" sebagai yang telah diuraikan diatas.
Bila suku telah bertambah besar, baik karena berkembang biak, maupun karena bertambahnya kemenakan baru dalam hubungan "batali-budi" maupun dalam hubungan "batali-emas" menimbulkan masalah dalam hubungan antara anggota di dalam pesukuan itu sendiri.
Masalah itu antara lain :
1. Kemampuan Penghulu selaku kapala suku, untuk memimpin dan membimbing kemenakan yang telah berkembang biak. Di lain pihak Penghulu yang menjadi suami dan ayah anak-anaknya sesuai dengan tuntutan zaman, tidak dapat pula mengabaikan tanggung jawabnya terhadap istri dan anak-anaknya sendiri, sehingga Penghulu sudah sulit membagi waktu untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai suami dan ayah di lain pihak.
2. Kecenderungan "ganggam ba-untuak, miliak ba-masiang" serta dorongan ke arah hubungan keluarga kecil sebagai akibat pengaruh individualisme-barat, telah menimbulkan keinginan masing-masing "buah paruik" dalam satu suku membagi harta pusaka tinggi.
3. Semakin besarnya peranan ayah dalam suatu rumah tangga dan beralihnya sumber penghidupan dari pertanian ke arah industrialisasi, birokrasi-pemerintahan dan sektor jasa, mengakibatkan peranan Harta Pusaka Rendah, khususnya Harta Pencarian menjadi lebih dominan dalam menunjang kehidupan keluarga.
Ketiga masalah diatas mendorong ke arah pemekaran atau pemecahan suku, atau mendorong kearah terbentuknya suku baru dan Penghulu baru.
Suku baru dan Penghulu baru ini tetap dalam rumpun yang sama sehingga mereka itu disebut sebagai Kaum yang SERUMPUN atau SESUDUT.
Sekalipun pemekaran atau pembentukan suku baru semacam ini dapat mengatasi masalah kepemimpinan suku, dengan diangkatnya Penghulu baru dapat juga mengatasi pemilihan bersama (komunal-bezit) atau Harta Pusaka Tinggi, menjadi pemilikan bersama kelompok yang lebih kecil, namum tak dapat mengatasi "hambatan" yang timbul dalam perkawinan yang bersyarat Eksogami suku.
Ada nagari yang membolehkan perkawinan antara suku yang serumpun, tapi ada juga yang tidak.
Seyogianya perkawinan eksogami diartikan sebagai perkawinan-perkawinan antara suku, termasuk antara suku yang serumpun dalam satu nagari.
Dengan cara ini akan memperbesar kemungkinan perkawinan antara suku Minang sendiri.

Proses Pemekaran Suku.
Proses pemekaran dapat ditempuh dengan salah satu cara sebagai berikut :

1. Gadang-Menyimpang
Bila kemenakan batali darah atau lazim juga disebut kemenakan dibawah dagu sudah berkembang biak, maka dibentuk suku baru dengan penghulu baru pula. Kalau suku asal bernama suku jambak dengan penghulu Datuk Tumenggung, maka suku baru diberi nama Jambak-hilir karena kebanyakan kemenakan yang mendirikan suku baru ini berdomisili dibagian hilir dari domilsili suku asli. Begitu pula Penghulu suku-suku baru ini memakai gelar Datuk Tumanggung juga, tapi ditambah misalnya menjadi Datuk Tumanggung Sati.

2. Menggunting sibar-baju
Sibar baju artinya "pinggiran atau tepi baju"
Bila kemenakan batali budi atau biasa juga disebut kemenakan dibawah pusat sudah berkembang biak, maka dapat pula dibentuk suku baru dengan Penghulu baru pula. Nama suku baru itu seperti disebut dalam point 1 diatas dan nama Penghulu baru itu dapat ditambah dengan kata "nan" menjadi Datuk Tumanggung nan Sati.

3. Baju Sahalai Dibagi Duo
Bila "tungganai" berebut untuk menjadi Penghulu dan dapat kata sepakat antara tungganai itu, maka daripada "gala balipek" dalam arti kata tidak ada Penghulu di dalam pesukuan itu, terpaksa suku yang ada di bagi dua.
Nama suku baru itu sama dengan point 1 diatas, dan gelar Penghulu di masing-masing suku itu memakai gelar yang sama juga disebut : Deta (destar) sehalai di bagi duo.

4. Suku-baru
Bila kemenakan batali emas atau lazim disebut juga dengan kemenakan dibawah lutut telah berkembang biak, untuk mereka dapat pula diberikan suku baru dengan nama suku baru seperti yang disebut dalam point 1, namum dengan gelar penghulu yang baru pula. Gelar itu misalnya Datuk Palimo Kayo, karena kemenakan bertali emas itu tadinya berasal usul keturunan Panglima Perang Aceh yang kaya raya, sehingga cocoklah di ranah minang dia diberi gelar Datuk Palimo Kayo. Begitu juga kemenakan bertali-emas yang berasal dari keturunan maharaja Majapahit misalnya, maka penghulu baru itu dapat saja diberi gelar datuk Seri Marajo Dirajo.

5. Belahan Suku
Bila suatu suku bertambah besar juga atau sebagian kemenakan ingin merubah penghidupan di tempat lain, maka mereka mulai merintis "taratak" dan dusun baru di nagari lain.
Di taratak dan dusun baru itu mereka memakai nama "suku asalnya". Kalau di nagari asal mereka mempunyai suku "Chaniago" maka dusun yang baru mereka memakai nama suku "Chaniago" pula.
Hubungan mereka dengan dunsanak di nagari asal tetap terpelihara. Setidaknya setiap menjelang puasa mereka saling kunjung-mengunjungi. Suku baru di nagari baru ini namanya "balahan". Orang Sungai Pua misalnya berbalahan ke nagari daerah Padang Panjang dan Rantau (Pariaman). Balahan ini bisa di daerah Luhak Nan Tigo, juga bisa sampai didaerah rantau.
Prinsip "balahan" ini sesungguhnya tepat sekali untuk di kembangkan di daerah rantau baru seperti di Jawa sekarang ini untuk menjamin kelestarian dan keakraban pesukuan Minang di rantau. Apa salahnya kalau orang Sungai Pua mempunyai belahan suku tidak saja di Luhak nan Tigo dan daerah rantau, mempunyai belahan suku di daerah Jawa umpamanya di Cimahi (Jabar) dlsb.
Orang Bonjol dan Pariaman mempunyai balahan suku di negara bagian Selangor seperti di Kajang, Klang dan Kuala Lumpur.

Apa salahnya pula istri-istri non Minang diangkat menjadi kemenakan tumpangan dalam pesukuan Minang, sehingga mereka mantap menjadi warga Minang dan sesuai dengan harapan dan dambaan mereka dengan bersuamikan orang Minang. Patut dicatat pada umumnya istri-istri non-Minang adalah mereka menganut garis keturunan "Patrilinial" atau Bilateral sehingga bergitu mereka kawin dengan pria Minang, sesungguhnya mereka mendambakan dapat diterima dalam pesukuan Minang, khususnya anak-anak mereka.
Kalau anak-anak lahir dari ibu Jawa atau Sunda dari seorang suami Minang, ditanya : "Kamu orang mana ?", maka dengan lantang pada umumnya mereka menjawab : "Orang Minang atau orang Padang". Karena begitulah ibu-ibu mereka mengajarkan sesuai dengan garis keturunan "Patrilinial" atau "Bilateral".
Apa salahnya kebanggaan sebagai orang Minang ini kita mantapkan dengan memberikan pengukuhan mereka sebagai "Suku Minang".
Banyak orang-orang non-Minang yang mempunyai ikatan kekerabatan di Minang, mengaku dan malah bangga sebagai orang Minang, bahkan banyak istri-istri non-Minang yang telah berdomisili di ranah Minang puluhan tahun, beranak pinak di ranah Minang, berbahasa Minang, beradat-istiadat Minang, berbudaya Minang dan juga tidak dikukuhkan dalam pesukuan Minang.
Asa salahnya kalau bagi mereka dibukakan pintu pembentukan "suku baru" atau sebagai "belahan suku lama" melalui proses "Malakok" yang sudah diisyaratkan dan dimungkinkan oleh aturan adat kita sendiri. Kenapa kita tidak mau membukakan "pintu hati" kita ke arah ini.
Semoga menjadi bahan pemikiran kita semua dalam rangka pelestarian suku Minang khusunya dan sebagai salah satu upaya akomodatif dalam kerangka dasar "Bhineka Tunggal Ika" bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.
Marilah kita mulai dengan memberikan secercah cinta kasih anak pisang kita sendiri dari suku manapun dia berasal.

--- oOo ---

Sejarah Jam Gadang

Jam Gadang adalah sebuah menara jam yang merupakan markah tanah kota Bukittinggi dan provinsi Sumatra Barat di Indonesia. Simbol khas Sumatera Barat ini pun memiliki cerita dan keunikan karena usianya yang sudah puluhan tahun.

Jam Gadang dibangun pada tahun 1926 oleh arsitek Yazid Sutan Gigi Ameh. Peletakan batu pertama jam ini dilakukan putra pertama Rook Maker yang saat itu masih berumur 6 tahun. Jam ini merupakan hadiah dari Ratu Belanda kepada Controleur(Sekretaris Kota). Pada masa penjajahan Belanda, jam ini berbentuk bulat dan di atasnya berdiri patung ayam jantan, sedangkan pada masa pendudukan Jepang, berbentuk klenteng. Pada masa kemerdekaan, bentuknya berubah lagi menjadi ornamen rumah adat Minangkabau.

Ukuran diameter jam ini adalah 80 cm, dengan denah dasar 13x4 meter sedangkan tingginya 26 meter. Pembangunan Jam Gadang yang konon menghabiskan total biaya pembangunan 3.000 Gulden ini, akhirnya menjadi markah tanah atau lambang dari kota Bukittinggi. Ada keunikan dari angka-angka Romawi pada Jam Gadang ini. Bila penulisan huruf Romawi biasanya pada angka enam adalah VI, angka tujuh adalah VII dan angka delapan adalah VIII, Jam Gadang ini menulis angka empat dengan simbol IIII (umumnya IV).

LEGENDA LEMBAH HARAU

Legenda ini menceritakan, dahulunya Lembah Harau adalah lautan. Apalagi berdasarkan hasil survey team geologi dari Jerman (Barat) pada tahun 1980, dikatakan bahwa batuan perbukitan yang terdapat di Lembah Harau adalah batuan Breksi dan Konglomerat. Batuan jenis ini umumnya terdapat di dasar laut.

Salah satu air terjun di Lembah HarauMenurut legenda, Raja Hindustan berlayar bersama istri dan anaknya, Putri Sari Banilai. Perjalanan ini dalam rangka selamatan atas pertunangan putrinya dengan seorang pemuda Hindustan bernama Bujang Juaro. Sebelum berangkat, Sari Banilai bersumpah dengan tunangannya, apabila ia ingkar janji maka ia akan berubah menjadi batu dan apabila Bujang Juaro yang ingkar janji, maka ia akan berubah menjadi Ular.

Namun sayangnya, dalam perjalanan kapal tersebut terbawa oleh gelombang dan terdampar pada sebuah selat (tempat tersebut sekarang dinamakan Lembah Harau). Kapal tersebut tersekat oleh akar yang membelintang pada dua buah bukit hingga akhirnya rusak.

Agar tidak karam, kapal itu ditambatkan pada sebuah batu besar yang terdapat di pinggiran bukit (bukit tersebut sekarang dinamakan Bukit Jambu). Batu tempat tambatan kapal itu sekarang dinamakan Batu Tambatan Perahu.

Setelah terdampar, Raja Hindustan bersama dengan keluarganya disambut oleh Raja yang memerintah Harau pada waktu itu. Lama kelamaan, karena hubungan baik yang terjalin, Raja Hindustan ingin menikahkan putrinya dengan pemuda setempat bernama Rambun Paneh. Satu hal lagi, untuk kembali ke negeri Hindustan juga tidak memungkinkan. Ia tidak tahu sumpah yang telah diucapkan Sari Banilai dengan tunangannya, Bujang Juaro.
Tidak berapa lama kemudian, Rambun Paneh menikah dengan Sari Banilai.

Waktu terus berjalan, dan dari perkawinan itu lahirlah seorang putra. Suatu hari, sang kakek, si Raja Hindustan, membuatkan mainan untuk cucunya. Sewaktu asyik bermain, mainan tersebut jatuh ke dalam laut. Anak tersebut menangis sejadi-jadinya. Ibunya, Putri Sari Banilai tanpa pikir panjang langsung terjun ke laut untuk mengambilkan mainan tersebut. Sungguh malang, ombak datang menghempaskan dan menjempit tubuhnya pada dua batu besar. Sari Banilai sadar, bahwa ia telah ingkar janji pada tunangannya dahulu, Bujang Juaro. Dalam keadaan pasrah, ia berdoa pada Yang Maha Kuasa, supaya air laut jadi surut. Doanya dikabulkan, tidak berapa lama kemudian air laut menjadi surut. Ia juga berdoa agar peralatan rumah tangganya didekatkan padanya. Dan ia berdoa, seandainya ia membuat kesalahan ia rela dimakan sumpah menjadi batu. Tidak lama berselang, perlahan-lahan tubuh Putri Sari Banilai berubah menjadi batu.

Monday, March 30, 2009

Filsafat dan Silsilah Aliran-Aliran Silat Minangkabau

Silat Minangkabau atau disingkat dengan “Silat Minang” pada prinsipnya sebagai salah kenusilat-minang.jpgdayaan khas yang diwariskan oleh nenek moyang Minangkabau sejak berada di bumi Minangkabau.

Bila dikaji dengan seksama isi Tambo Alam Minangkabau yang penuh berisikan kiasan berupa pepatah,petitih ataupun mamang adat, ternyata Silat Minang telah memiliki dan dikembangkan oleh salah seorang penasehat Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama “Datuk Suri Diraja” ; dipanggilkan dengan “Ninik Datuk Suri Diraja” oleh anak-cucu sekarang.

Sultan Sri Maharaja Diraja, seorang raja di Kerajaan Pahariyangan ( dialek: Pariangan ) . sebuah negeri (baca: nagari) yang pertama dibangun di kaki gunung Merapi bahagian Tenggara pad abad XII ( tahun 1119 M ).

Sedangkan Ninik Datuk Suri Diraja , seorang tua yang banyak dan dalam ilmunya di berbagai bidang kehidupan sosial. Beliau dikatakan juga sebagai seorang ahli filsafat dan negarawan kerajaan di masa itu, serta pertama kalinya membangun dasar-dasar adat Minangkabau; yang kemudian disempurnakan oleh Datuk Nan Baduo, dikenal dengan Datuk Ketumanggungan dan Datuk Perpatih Nan Sebatang.

Ninik Datuk Suri Diraja itulah yang menciptakan bermacam-macam kesenian dan alat-alatnya, seperti pencak, tari-tarian yang diangkatkan dari gerak-gerak silat serta membuat talempong, gong, gendang, serunai, harbah, kecapi, dll ( I.Dt.Sangguno Dirajo, 1919:18)

Sebagai catatan disini, mengenai kebenaran isi Tambo yang dikatakan orang mengandung 2% fakta dan 98 % mitologi hendaklah diikuti juga uraian Drs.MID.Jamal dalam bukunya : “Menyigi Tambo Alam Minangkabau” (Studi perbandingan sejarah) halaman 10.

Ninik Datuk Suri Diraja (dialek: Niniek Datuek Suri Dirajo) sebagai salah seorang Cendekiawan yang dikatakan “lubuk akal, lautan budi” , tempat orang berguru dan bertanya di masa itu; bahkan juga guru dari Sultan Sri Maharaja Diraja. (I.Dt. Sangguno Durajo, 1919:22).

Beliau itu jugalah yang menciptakan bermacam-macam cara berpakaian, seperti bermanik pada leher dan gelang pada kaki dan tangan serta berhias, bergombak satu,empat, dsb.

Ninik Datuk Suri Dirajo (1097-1198) itupun, sebagai kakak ipar (Minang: “Mamak Runah”) dari Sultan Sri Maharaja Diraja ( 1101-1149 ), karena adik beliau menjadi isteri pertama (Parama-Iswari) dari Raja Minangkabau tsb. Oleh karena itu pula “Mamak kandung” dari Datuk Nan Baduo.

Pengawal-pengawal Sultan Sri Maharaja Diraja yang bernama Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Utan, dan Anjieng Mualim menerima warisan ilmu silat sebahagian besarnya dari Ninik Datuk Dirajo; meskipun kepandaian silat pusaka yang mereka miliki dari negeri asal masing-masing sudah ada juga. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa keempat pengawal kerajaan itu pada mulanya berasal dari berbagai kawasan yang berada di sekitar Tanah Basa (= Tanah Asal) , yaitu di sekitar lembah Indus dahulunya.

Mereka merupakan keturunan dari pengawal-pengawal nenek moyang yang mula-mula sekali menjejakkan kaki di kaki gunung Merapi. Nenek moyang yang pertama itu bernama “DAPUNTA HYANG”. ( Mid.Jamal, 1984:35).

Kucieng Siam, seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kucin-Cina (Siam); Harimau Campo, seorang pengawal yang gagah perkasa, terambil dari kawasan Campa ; Kambieng Utan , seorang pengawal yang berasal dari kawasan Kamboja, dan Anjieng Mualim, seorang pengawal yang datang dari Persia/Gujarat.

Sehubungan dengan itu, kedudukan atau jabatan pengawalan sudah ada sejak nenek moyang suku Minangkabau bermukim di daerah sekitar gunung Merapi di zaman purba; sekurang-kurangnya dalam abad pertama setelah timbulnya kerajaan Melayu di Sumatera Barat.

Pemberitaan tentang kehadiran nenek moyang (Dapunta Hyang) dimaksud telah dipublikasikan dalam prasasti “Kedukan Bukit” tahun 683 M, yang dikaitkan dengan keberangkatan Dapunta Hyang dengan balatentaranya dari gunung Merapi melalui Muara Kampar atau Minang Tamwan ke Pulau Punjung / Sungai Dareh untuk mendirikan sebuah kerajaan yang memenuhi niat perjalanan suci missi. dimaksud untuk menyebarkan agama Budha. Di dalam perjalanan suci yang ditulis/ dikatakan dalam bahasa Melayu Kuno pada prasasti tsb dengan perkataan : ” Manalap Sidhayatra” (Bakar Hatta,1983:20), terkandung juga niat memenuhi persyaratan mendirikan kerajaan dengan memperhitungkan faktor-faktor strategi militer, politik dan ekonomi. Kedudukan kerajaan itupun tidak bertentangan dengan kehendak kepercayaan/agama, karena di tepi Batanghari ditenukan sebuah tempat yang memenuhi persyaratan pula untuk memuja atau mengadakan persembahan kepada para dewata. Tempat itu, sebuah pulau yang dialiri sungai besar, yang merupakan dua pertemuan yang dapat pula dinamakan “Minanga Tamwan” atau “Minanga Kabwa”.

Akhirnya pulau tempat bersemayam Dapunta Hyang yang menghadap ke Gunung Merapi (pengganti Mahameru yaitu Himalaya) itu dinamakan Pulau Punjung (asal kata: pujeu artinya puja). Sedangkan kerajaan yang didirikan itu disebut dengan kerajaan Mianga Kabwa dibaca: Minangkabaw.

Asal usul Silat Minangkabau

Minangkabau secara resmi sebagai sebuah kerajaan pertama dinyatakan terbentuknya dan berkedudukan di Pariangan, yakni di lereng Tenggara gunung Merapi.

Di Pariangan itulah dibentuk dan berkembangnya kepribadian suku Minangkabau. Pada hakikatnya kebudayaan Minangkabau bertumbuhnya di Pariangan; bukan di Pulau Punjung dan bukan pula di daerah sekitar sungai Kampar Kiri dan Kampar kanan.

Bila orang mengatakan Tambo Minangkabau itu isinya dongeng itu adalah hak mereka, meski kita tidak sependapat. Suatu dongeng, merupakan cerita-cerita kosong. akan tetapi jika dikatakan Tambo Minangkabau itu Mitologis, hal itu sangat beralasan, karena masih berada dalam lingkungan ilmu, yaitu terdapatnya kata “Logy”. Hanya saja pembuktian mitology berdasarkan keyakinan, yang dapat dipahami oleh mereka yang ahli pula dalam bidang ilmu tersebut. Ilmu tentang mitos memang dewasa ini sudah ditinggalkan, karena banyak obyeknya bukan material; melainkan “SPIRITUAL”. walaupun demikian, setiap orang tentu mempunyai alat ukur dan penilai suatu “kebenaran” , sesuai dengan keyakinan masing-masing. Apakah sesuatu yang dimilikinya ditetapkan secara obyektif, misalnya ilmu sejarah dengan segala benda-benda sebagai bukti yang obyektif dan benar; sudah barang tentu pula mitologi juga mempunyai bukti-bukti yang obyektif bagi yang mampu melihatnya. Bukti-bukti sejarah dapat diamati oleh mata lahir, sedangkan mitologi dapat diawasi oleh mata batin. Contoh: Pelangi dapat dilihat oleh mata lahir, sedangkan sinar aureel hanya bisa dilihat oleh mata batin. demikian juga bakteri yang sekecil-kecilnya dapat dilihat oleh mata lahir melalui mikroskop, akan tetapi “teluh” tidak dapat dilihat sekalipun dengan mikroskop; hanya dapat dilihat oleh mata batin melalui “makrifat”.

Karenanya mengukur dan menilai Tambo tidak akan pernah ditimbang dengan ilmu sejarah dan tak akan pula pernah tercapai. Justeru karena itu mengukur Tambo dan sekaligus menilainya hanya dengan alat yang tersendiri pula, yaitu dengan keyakinan yang berdasarkan kenyataan yang tidak dapat didustakan oleh setiap pendukung kebudayaan Minangkabau.

Dalam hubungan ini diyakini, bahwa para pengawal kerajaan sebagaimana halnya raja itu sendiri, yang kehadirannya sebagai keturunan dari keluarga istana kerajaan Minangkabau di Pulau Punjung/Sungai Dareh. Kedatangan mereka ke Pariangan setelah kerajaan itu mengalami perpecahan, yaitu terjadinya revolusi istana dengan terbunuhnya nenek moyang mereka, bernama Raja Indrawarman tahun 730 M, karena campur tangan politik Cina T`ang yang menganut agama Budha. Raja Indrawarman yang menggantikan ayahanda Sri Maharaja Lokita Warman (718 M) “sudah menganut agama Islam”. Dan hal itu menyebabkan Cina T`ang merasa dirugikan oleh “hubungan Raja Minangkabau dengan Bani Umayyah” (MID.Jamal, 1984:60-61). Karena itu keturunan para pengawal kerajaan Minangkabau dari Pariangan tidak lagi secara murni mewarisi silat yang terbawa dari sumber asal semula, akan tetapi merupakan kepandaian pusaka turun temurun. Ilmu silat itu sudah mengalami adaptasi mutlak dengan lingkungan alam Minangkabau. Apalagi sebahagian besar pengaruh ajaran Ninik Datuk Suri Diraja yang mengajarkan silat kepada keturunan para pengawal tersebut mengakibatkan timbulnya perpaduan antara silat-silat pusaka yang mereka terima dari nene moyang masing-masing dengan ilmu silat ciptaan Ninik Datuk Suri Dirajo. Dengan perkataan lain, meskipun setiap pengawal, misalnya “Kucieng Siam” memiliki ilmu silat Siam yang diterima sebagai warisan, setelah kemudian mempelajari ilmu silat Ninik Datuk Suri Diraja. maka akhirnya ilmu silat Kucieng Siam berbentuk paduan atau merupakan hasil pengolahan silat, yang bentuknyapun jadi baru. Begitu pula bagi diri pengawal-pengawal lain; semuanya merupakan hasil ajaran Ninik Datuk Suri Diraja.

Ninik Datuk Suri Diraja telah memformulasi dan menyeragamkan ilmu silat yang berisikan sistem, metode dll bagi silat Minang, yaitu ” Langkah Tigo ” , ” Langkah Ampek ” , dan ” Langkah Sembilan “. Beliau tidak hanya mengajarkan ilmu silat yang berbentuk lahiriyah saja, melainkan ilmu silat yang bersifat batiniyah pun diturunkan kepada murid-murid, agar mutu silat mempunyai bobot yang dikehendaki dan tambahan lagi setiap pengawal akan menjadi seorang yang sakti mendraguna, dan berwibawa.

Dalam Tambo dinyatakan juga, bahwa Ninik Datuk Suridiraja memiliki juga “kepandaian batiniyah yang disebut GAYUENG”. (I.Dt Sangguno Dirajo, 1919:22)

1. Gayueng Lahir , yaitu suatu ilmu silat untuk dipakai menyerang lawan dengan menggunakan empu jari kaki dengan tiga macam sasaran :

a. Di sekitar leher, yaitu jakun/halkum dan tenggorokan.
b. Di sekitar lipatan perut, yaitu hulu hati dan pusar.
c. Di sekitar selangkang, yaitu kemaluan

Ketiga sasaran empuk itu dinamakan sasaran ” Sajangka dua jari ” .

2. Gayueng angin, yakni menyerang lawan dengan menggunakan tenaga batin melalui cara bersalaman, jentikan atau senggolan telunjuk. sasarannya ialah jeroan yang terdiri atas rangkai jantung, rangkai hati, dan rangkai limpa.
Ilmu Gayueng yang dimiliki Ninik Datuk Suri Diraja yang disebut “Gayueng” dalam Tambo itu ialah Gyueng jenis yang kedua, yaitu gayueng angin. Kepandaian silat dengan gayueng angin itu tanpa menggunakan peralatan. Jika penggunaan tenaga batin itu dengan memakai peralatan, maka ada bermacam jenisnya, yaitu :

a. Juhueng, yang di Jawa disebut sebagai Teluh, dengan alat2 semacam paku dan jarum, pisau kecil dll.
b. Parmayo, benda2 pipih dari besi yang mudah dilayangkan.
c. Sewai, sejenis boneka yang ditikam berulangkali
d. Tinggam, seperti Sewai juga, tetapi alat tikamnya dibenamkan pada boneka

Kepandaian Silat menggunakan tenaga batin yang sudah disebutkan diatas, sampai sekarang masih disimpan oleh kalangan pesilat; terutama pesilat-pesilat tua. Ilmu tersebut disebut sebagai istilah ” PANARUHAN ” atau simpanan. Karena ilmu silat sebagai ilmu beladiri dan seni adalah ciptaan Ninik Datuk Suri Diraja, maka bila dipelajari harus menurut tata cara adat yang berlaku di medan persilatan. tata cara adat yang berlaku itu disebutkan dalam pepatah Minang : ” Syarat-syarat yang dipaturun-panaikan manuruik alue jo patuik” diberikan kepada Sang Guru.

PENYEBARAN SILAT MINANGKABAU

Dimasa itu terkenal empat angkatan barisan pertahanan dan keamanan di bawah pimpinan Kucieng Siam, Harimau Campo, Kambieng Hutan, dan Anjieng Mualim; ke empatnya merupakan murid-murid Ninik Datuk Suri Dirajo.

Sewaktu Datuk Nan Batigo membentuk Luhak Nan Tigo (1186 M ) dan membuka tanah Rantau (mula-mula didirikan Kerajaan Sungai Pagu 1245 M, ketika itu Raja Alam Pagaruyung, ialah Rum Pitualo, cicit dari Putri Jamilah atau kemenakan cicit dari Datuk Ketumanggungan), maka para pemimpin rombongan yang pindah membawa penduduk, adalah anggota pilihan dari barisan pertahanan dan keamanan kerajaan.

1. Untuk rombongan ke Luhak Tanah Datar, pimpinan rombongan ialah anggota barisan Kucieng Siam.

2. Untuk rombongan ke Luhak Agam, dipimpin oleh barisan Harimau Campo.

3. Untuk rombongan ke Luhak Limapuluh-Payakumbuh, dipimpin oleh anggota barisan Kambieng Hutan.

4. Untuk rombongan ke Tanah Rantau dan Pesisir dipimpin oleh anggota barisan Anjieng Mualim.

Setiap angkatan/barisan atau pasukan telah memiliki ilmu silat yang dibawa dari Pariangan. Dengan ilmu silat yang dimiliki masing-masing angkatan, ditentukan fungsi dan tugas-tugasnya, pemberian dan penentuan fungsi/tugas oleh Sultan Sri Maharaja Diraja berdasarkan ketentuan yang telah diwariskan oleh nenek moyang di masa mendatangi Swarna Dwipa ini dahulunya.
Fungsi dan tugas yang dipikul masing-masing rombongan itu diperjelas sbb:

1. Barisan pengawal kerajaan , Anjieng Mualim berfungsi sebagai penjaga keamanan
2. Barisan Perusak, Kambieng Hutan berfungsi sebagai destroyer atau zeni
3. Barisan Pemburu, Harimau Campo berfungsi sebagai Jaguar atau pemburu
4. Barisan Penyelamat, Kucieng Siam berfungsi sebagai anti huru-hara.

1. Aliran Silat Kucieng Siam:

Sekarang nama Kucieng Siam menjadi lambang daerah Luhak Tanah Datar….

Bentuk dan sifat silat negeri asal Kucin Cina-Siam :
peranan kaki (tendangan) menjadi ciri khasnya. Tangan berfungsi megalihkan perhatian lawan serta memperlemah daya tahan lawan.

2. Aliran Silat Harimau Campo:

Lambang Harimau Campo diberikan kepada Luhak Agam.

Bentuk dan sifat gerakannya:
ialah menyerupai seperti sifat harimau, keras, menyerang tanpa kesabaran alias langsung menerkam. mengandalkan kekuatannya pada tangan.

3. Aliran silat Kambieng Hutan :

Luhak Limapuluh-Payokumbuh mendapatkan lambang tersebut.

Bentuk dan sifat gerakannya:
banyak menampilkan gerak tipu, selain menggunakan tangan juga disertai dengan sundulan/dorongan menggunakan kepala dan kepitan kaki.

4. Aliran Silat Anjieng Mualim :

diberikan kepada Tanah Rantau-Pesisir adalah daerah-daerah di sekitar lembah-lembah sungai dan anak sungai dari pegunungan Bukit Barisan.

Bentuk dan sifat gerakannya:
a. bentuk penyerangan dengan membuat lingkaran
b. bentuk pertahanan dengan tetap berada dalam lingkaran.
bentuk-bentuk gerakan ini menimbulkan gerak-gerak yang menjurus kepada empat penjuru angin, sehingga dinamakan jurus atau “langkah Empat”.
dari sinilah permulaan Langkah Ampek dibentuk oleh Ninik Datuk Suri Diraja.

jadi silat Minang mempunyai dua macam persilatan yang menjadi inti yang khas:

Langkah Tigo ( Kucieng Siam ) dan Langkah Ampek ( Anjieng Mualim ).

kemudian selanjutnya langkah tersebut berkembang menjadi Langkah Sembilan.
Langkah Sembilan selanjutnya tidak lagi disebut sebagai SILAT, namun sudah berubah dengan nama PENCAK (Mencak)
SILAT LANGKAH TIGO

Silat Langkah Tigo ( langkah tiga ) pada asalnya milik Kucieng Siam, Harimau Campo, dan Kambieng Hutan; yang secara geografis berasal dari daratan Asia Tenggara. Akan tetapi setelah berada di Minangkabau disesuaikan dengan kepribadian yang diwarnai pandangan hidup, yaitu agama Islam.

Di masa itu agama Islam belum lagi secara murni di amalkan, karena pengaruh kepercayaan lama dan pelbagai filsafat yang dianut belum terkikis habis dalam diri mereka.

Namun dalam ilmu silat pusaka yang berbentuk Langkah Tigo dan juga dinamakan Silek Tuo, mulai disempurnakan dengan mengisikan pengkajian faham dari berbagai aliran Islam.

Memperturunkan ilmu silat tidak boleh sembarangan. Faham Al Hulul / Wihdatul Wujud memegang peranan, terutama dalam pengisian kebatinan ( silat batin ). Tarekat ( metode ) pendidikan Al Hallaj yang diwarnai unsur-unsur filsafat pythagoras yang bersifat mistik menjadi pegangan bagi guru-guru silat untuk tidak mau menurunkan ilmu silat kepada sembarangan orang.

Angka 3 sebagai “hakikat” menjadi rahasia dan harus disimpan. Untuk menjamin kerahasiaannya, maka ilmu silat tidak pernah dibukukan. Dalam pengalaman dan penelitian yang dilakukan kenyataan menunjukkan, bahwa amanat ” suatu pengkajian yang bersifat rahasia ” itu sampai kini masih berlaku bagi orang tua-tua Minangkabau.

kalau sekarang, rahasia itu dinyatakan dalam berbagai dalih, misalnya :

a. akan menimbulkan pertentangan nantinya dengan ajaran yang dianut oleh masyarakat awam.
b. akan mendatangkan bahaya sebagai akibat ” Tasaluek dek kaji ” , seperti: gila.
c. dan sebagainya.

Dalam hubungan ini penulis sendiri ( yakni bpk Mid.Jamal ) , kurang sependapat dengan alasan orang tua-tua yang kita mulyakan itu, mengingat kian langkanya pusaka budaya itu. Masalah adanya perbedaan kaji dengan masyarakat awam bukanlah alasan yang rumit.
semata-mata untuk kepentingan ilmu juga maka dalam tulisan ini mencoba bukakan sekelumit rahasia budaya pusaka dari nenek moyang kita, agar jangan sampai punah secara total.

Langkah Tigo dalam silat Minang, didalamnya terdapat gerak-gerak yang sempurna untuk menghadapi segala kemungkinan yang dilakukan lawan. Perhitungan angka tiga disejalankan dengan wirid dan latihan, inipun tidak semua orang dapat memahami dan mengamalkannya karena mistik.

Kaifiat atau pelaksanaannya dilakukan secara konsentrasi sewaktu membuat langkah tigo. setiap langkah ditekankan pada ” Alif, Dal, Mim “

Tagak Alif, Pitunggue Adam, Langkah Muhammad
Tagak Alif :
Tegak Allah, Kuda-kuda bagi Adam, Kelit dari Muhammad, Tangkapan oleh Ali, dan tendangan beserta Malaikat. ( sandi kunci bergerak )

SILAT LANGKAH AMPEK

Pembentukan Silat Langkah Ampek oleh Ninik Datuk Suri Diraja di Pariangan serentak dengan Silat Langkah Tigo. Silat Langkah Ampek, berasal dari gerak-gerak silat Anjieng Mualim dan pengawasannya turun temurun juga diserahkan pada Harimau Campo, yang dapat menjelma bila disalahi membawakannya.

Oleh karena si penciptanya telah menyeragamkan bentuk dan metode serta pengisiannya. maka silat Langkah Ampek pun dimulai dengan Tagak Alif. Perbedaannya terletak pada perhitungan angka yaitu 4, sebagai angka istimewa (ingat mistik Pythagoras). Walaupun bersifat mistik dan sukar dipahami bagi awam, namun bagi Pesilat sangat diyakini kebenarannya.

Sewaktu membuka Langkah Ampek dilakukan konsentrasi pada Alif, Lam, Lam, Hu.

Langkah Sembilan
Perhitungan langkah dalam Silat Minang yang terakhir adalah sembilan. Dari mana datangnya angka sembilan. Dalam pengkajian silat dinyatakan sebagai berikut: Langkah 3 + Langkah 4 = langkah 7. Itu baru perhitungan batang atau tonggaknya. Penambahan 2 langkah adalah :

-Tagak Alif gantung dengan penekanan pada ” Illa Hu ” ini diartikan satu langkah.
-Mim Tasydid dalam kesatuan Allah dan Muhammad, gerak batin yang menentukan, berarti satu langkah.

Menurut faham Al Hulul bahwa apabila yang Hakikat menyatakan dirinya atau memancarkan sinarnya dalam realitasNya yang penuh; itulah keindahan.

Pesilat itu adalah seniman dan seorang seniman adalah orang yang tajam dan tilik pandangannya, yang dapat melihat keindahan Ilahi dalam dirinya. (Gazalba,IV/1973:527)

Silat Langkah sembilan biasanya dibawakan sebagai “Pencak” (Minangkabau: Mencak), artinya : Menari. Dalam kata majemuk “Pencak-Silat” dimaksudkan “Tari Silat”.

Langkah Sembilan memperlihatkan pengembangan gerak-gerak ritmis, dengan tidak meninggalkan unsur-unsur gerak silat.

Tuesday, March 24, 2009

HTC Prophet dengan WM6.5


Setelah mencoba satu kali dan tidak puas dengan performancenya, akhirnya saya "merasa" cukup puas dengan tampilan Gadget saya yaitu HTC Prophet (Dopod 818Pro) dengan OS WM6.5 buatan Lamson akan tetapi setelah dimodifikasi oleh saya pribadi.
Yang baru dari WM6.5 ini adalah adanya plugins Titanium dengan Honeycomb-nya.
Walaupun mula-mula agak susah adaptasinya, tapi ternyata perubahannya tidak banyak kecuali beberapa penambahan dan pengurangan fitur.
Akan saya ulas juga performance setelah mungkin satu sampai dua hari saya pergunakan, termasuk kelebihan dan kekurangannya.

Monday, March 23, 2009

Profil Pencak Silat Cimande


Mythos maempo Cimande
Tak jauh di tepian sungai Mande sebuah keluarga pedagang bernama Kahir hidup tinggal temtram dan damai. Di suatu hari istrinya pergi kesungai untuk melakukan kegiatan sehari-hari mencuci pakaian, makanan dan membuang hajat. Di saat istrinya mencuci pakaian di seberang tampak segerombolan monyet memungut buah kupak di tepian sungai, selang waktu kemudian datang seekor macan (maung) di tempat yang sama.
Monyet-monyet itu merasa terusik kenyamanannya dengan kedatangan macan, monyet-monyet itu menjerit jerit mengeluarkan suara sekeras-kerasnya. Suasana itu mengejutkan istri Kahir untuk memperhatikan keadaan , kemungkinan apa yang terjadi.
Macan itu marah mengaung dan menyerang ke arah monyet dengan tangannya yang kekar tetapi monyet yang bertubuh kecil itu, merasa tidak takut, meloncat dengan berkelid kembali menyerang dengan mengigit di bagian perut macan. Macan menggeliat kembali melakukan serangan- serangan namun tidak menyentuh tubuh monyet. Sebaliknya monyet yang lain dengan meggunakan tangkai kayu, mencoba mengganggu macan agar supaya marah dan menyerangnya kembali. Pada saat yang sama monyet kembali berkelit dan mengigitnya.
Kejadian ini detik demi detik diperhatikan dan diamati oleh Ibu Kahir direnungkan kembali teknik perkelaian itu. Sebagai akibatnya pekerjaannya tertinggal tidak terselesaikan tepat waktu, sehingga Ibu Kahir kembali ke rumah terlambat dan belum memasak makanan siang.
Keterlambatan memasak ini membuat Pak Kahir marah terhadap istrinya tak mau mengerti . Istrinya mencoba menjelaskan tetapi suaminya marah dengan menempeleng istrinya, dengan gerakan cepat berkelid , serangan itu dapat dihindari.Kemarahan yang tidak terkontrol itu meluap-luap dilakukan dengan pukulan demi pukulan namun tak berhasil menyentuh istrinya, cukup diatasi dengan gerakan kelid.
Pak Kaher nafasnya terengah-engah, bertanya kepada istrinya: "Di mana kamu belajar maen poho?" (artinya "menipu gerakan" dipersingkat menjadi "maempo"). Istrinya menjelaskan kepada suaminya , dia terlambat kembali dari sungai disebabkan lama sedang asik menikmati perkelaian (maung) macan dan monyet. Sejak itu Kahir bertanya-tanya bagaimana gerakan tadi, istrinya dengan rajin memberikan contoh gerakan kelid.
Kahir dengan cermat memulai memikirkan menjadi gerakan perkelaian yang kini dikenal dengan nama "jurus kelid pamonyet", monyet menyerang dengan tangkai kayu menjadi "jurus pepedangan" dan serangan tangan yang kokoh dikenal"jurus pamacan".
Karena posisi macan sewaktu menyerang monyet kedua kakinya sedang berada di posisi duduk dan monyet menggunakan posisi kuda-kuda rendah, maka latihan dasar Cimande pertama-tama jurus kelid dimulai dari posisi macan yaitu duduk dan tingkat berikutnya mulai latihan dari posisi berdiri dengan kuda-kuda pamonyet(rendah). Berikutnya teknik mempo' ini terus dikembangkan oleh Kahir dan masyarakat setempat memberikan nama maenpo' Cimande.
(Sumber wawancara dengan Bapak Rifai Guru Pencak Silat Cimande Panca Sakti di Jakarta 1993)

Hidup guru Kahir
(kutipan singkat dari Gema Pencak Silat Vol. 3, no. 1:18-19)
Kahir tinggal di kampung Cogreg, Bogor menjadi pendekar yang disegani kira-kira pada tahun 1760 pertama kali memperkenalkan kepada murid-muridnya jurus mempo' Cimande. Kemudian murid-muridnya menyebarkan luaskan kedaerah lainnya seperti Batavia, Bekasi, Karawang, Cikampek, Cianjur, Bandung, Garut, Tasikmalaya, Sumedang, Ciamis, Kuningan, dan Cirebon.
Sewaktu beliau tinggal di Cogreg Bogor, Kahir sering bepergian jauh meninggalkan kampung halamannya untuk berdagang kuda. Pengalamannya sering di begal oleh rampok dan bandit namun keadaan itu dapat diatasi karena kepiawaiannya bermain maempo'.
Di Batavia berkesempatan berkenalan dengan pendekar-pendekar silat Minangkabau dan Cina yang ahli dalam dunia persilatan untuk saling mencoba dengan bertukar pengalaman. Pertemuan dengan ahli silat lain ini memberikan cakrawala untuk membuka wawasan pandangan tentang permainan yang dimilikinya berinteraksi dengan budaya lain.
Ketika berdagang di Cianjur, beliau bertemu dengan Bupati Cianjur ke VI yakni Raden Adipati Wiratanudatar(1776-1813) Beliau menetapkan pindah ke Cianjur dan berdomisili di kampung Kamurang. Raden Adipati Wiratanudatar mengetahui bahwasanya Kahir mahir bermain mempo' untuk itu memintanya untuk mengajar keluarganya, pegawai kabupaten dan petugas keamanan.
Untuk membuktikan ketrampilannya, bupati mengadakan adu tanding melawan pendekar dari Cina dengan permainan kuntao Macao di alun-alun Cianjur. Pertandingan yang dimenangkan oleh Kahir ini membuat namanya semakin populer di Kabupaten Cianjur.
Pada tahun 1815 Kahir kembali ke Bogor, beliau memiliki 5 putra yaitu Endut, Ocod, Otang, Komar dan Oyot. Dari kelima anak inilah Cimande disebarkan keseluruh Tanah Pasundan. Sementara di Bogor yang meneruskan penyebaran Cimande adalah muridnya yang bernama Ace yang meninggal di Tarikolot yang hingga kini keturunannya menjadi sesepuh pencaksilat Cimande Tarikolot Kebon Jeruk Hilir.
Pada permulaan abad XIX di Jawa Barat adalah masa-masa kejayaan Cimande sehingga cara berpakaian Kahir dengan menggunakan pakaian celana sontok atau pangsi dengan baju kampret menjadi model pakaian pencak silat hingga kini.
Pada tahun 1825 Kaher meninggal dunia sedangkan buah karyanya terus berkembang dan diterima secara luas oleh masyarakat Jawa Barat. Pola pendidikannya dikembangkan oleh anak didiknya seperti Sera' dan aliran Ciwaringin yang dalam perkembangannya mengadakan perubahan jurus seperti yang dilakukan Haji Abdul Rosid. Akan tetapi berubahan itu tidak jauh berubah dari pakem mempo'Cimande .
Dewasa ini Cimande sudah berkembang ke seluruh pelosok dunia, masalahnya Kahir meninggalkan maempo Cimande tidak berupa catatan tertulis , oral tradisi yang tidak sistimatis. Di desa Cimande, maempo' Cimande tidak berada di dalam tatanan yang terpadu seperti organisasi.
Maempo Cimande perkembang bermula dari keturunan dan keluarga yang tidak terorganisir dalam waktu yang panjang telah menghasilkan murid-murid yang banyak dan dari senilah berkembang dengan seizin atau tidak menjadi perguruan-perguruan Cimande yang baru yang satu dengan yang lain tidak aling mengenal lagi.
Setidak tidaknya Cimande menjadi bagian dasar pendidikan aliran-aliran pencak silat baru yang sudah banyak tersebar diseluruh dunia.

Pola dasar Cimande
(kutipan singkat dari Gema Pencak Silat Vol. 3, no. 1:20-22)
Cimande pada mulanya menggunakan teknik perkelaian dengan jarak jauh, yaitu pesilat mengambil jarak jangkau selepas kaki, jarak ini dimungkinkan untuk dapat mudah menghindari serangan lawan. Jarak ini menjadi jarak dominan untuk serang balik.
Setiap pesilat dalam melakukan serangan harus memperhatikan sikap kaki atau kuda-kuda yang bertujuan untuk menjaga jarak lawan. Kuda-kuda pipih yang digunakan dapat dengan mudah dipindah-pindah, dan dapat diubah-ubah dalam kecepatan dan frekuensi tinggi. Karena dipastikan lawan akan memberikan serangan jarak dalam bentuk pukulan atau tendangan cepat dan tinggi, untuk mengatasinya maka diperlukan jurus agar pesilat dapat mengimbanginya.
Secara garis besar Comande dibagi dibagi dalam tatanan yaitu: Kelid Cimande, Pepedangan Cimande dan Tepak Selancar. Kelid dan Pepedangan merupakan jurus beladiri, sedangkan Tepak Selancar Jurus Seni (dengan iringan musik gendang pencak).
1. Jurus Kelid Cimande
Jurus ini adalah jurus inti yang bertujuan menangkis serangan lawan dengan berusaha merobohkannya. Kelid artinya menangkis serangan lawan sambil berusaha merobohkannya.
Jurus ini berjumlah 33 jurus yaitu:
1.tonjok bareng,
2.tonjok saubelah,
3.kelid selup,
4.timpah seubelah,
5.timpah serong ,
6.timpah duakali,
7.batekan,
8.teke tampa,
9.teke purilit
10.tewekan,
11.kedutan,
12.guaran,
13.kedut guar
14.kelid dibeulah
15.selup dibeulah,
16,kelid tonjok
17.selop tonjok
18.kelid tilu,
19.selup tilu
20.kelid lima
21.selup lima
22 peuncitan,
23.timpah bohong
24.serong panggul,
25.serong guwil,
26.serong guar,
27.singgul serong,
28.singgul sebelah,
29.sabet pedang,
30.beulit kacang,
31.beulit jalak pengkor
32.pakala alit
33.pakala gede

Jika diperhatikan jurus kelid ini nampaknya tertumpu pada ketangguhan tangan sebagai inti kekuatan, seperti:
Tonjok : bentuk tangan mengepal
Teke : menggunakan ruas jari tangan
Tewekan : bentuk tangan pipih menusuk
Kedutan : menggunakan telapak tangan
Guaran : menggunakan sisi tangan bagian luar aupun dalam
Singgulan : menggunakan pangkal tangan
Secara keseluruhan gerakan jurus kelid terlihat agak unik dari gerakan silat lainnya yang pada biasanya keuatan serangan bertumpu kepada kaki seperti silat Minangkabau.
Untuk melatihnya:
Biasanya dilakukan dengan duduk ditempat, sepasang duduk saling berhadapan salah satu kaki dilipat dan lainnya dilonjorkan kedepan demikian pula pasangannya dengan posisi sebaliknya. Pasangan itu melakukan serang bela dalam posisi duduk .
Tujuan latihan ini untuk melatih daya emajinasi seseorang untuk menentukan kuda-kuda yang tepat saat jurus-jurus tersebut dilakukan dengan posisi berdiri. Dengan dikuasainya gerakan tangan tentunya secara otumatis dapat dengan mudah menggunakan kuda-kuda dan serang bela.

2. Jurus pepedangan Cimande
Jurus ini bertumpu kesigapan kaki dan teknik serangan senjata golok. Dalam latihan digunakan senjata dari bambu sebagai pengganti senjata yang sesungguhnya.
Jurus pepedangan ini berjumlah 1 rangkaian jurus yaitu elakan sebeulah - selup kuriling - jagangan - tagongan - piceunan - balungbang- balumbang - sabeulah - opat likur - buang dua kali - selup kuriling langsung - selop bohong.

3. Jurus Tepak Selancar
Jurus ini hanya disajikan sebagai keindahan gerak karena jurus jurusnya memiliki unsur keindahan dan setiap penampilannya harus diiringi musik gendang pencak yang terdiri dari dua gendang besar(indung) dan dua gendang kecil(kulantir) yang berperan sebagai pengiring gerakan dan mengatur tempo lagu. Terompet sebagai melody lagu dan gong kecil (kempul) atau bende dalam penampilannya gerakan pencak selalu ditikberatkan dengan iringan gendang.
Pakem musik yang sudah baku ialah: tepak dua, tepak dungdung , paleredan, golempang dan tepak tilu.

Calon murid dan kode etik
(kutipan singkat dari Gema Pencak Silat Vol. 3, no. 1:20-22)
Setiap calon murid Cimande yang akan mengikuti latihan terlebih dahulu harus menyatakan kesediaannya mematuhi tatacara atau etika perguruan yang amat dihormati;
Syarat-syaratnya ialah harus melalui rangkaian upacara tradisi seperti puasa selama 7 hari yang dimulai dari hari Senin atau Kamis.
Selanjutnya membacakan sumpah atau janji (Patalekan Cimande)
1. Harus taat dan taqwa kepada Allah dan Rasulnya
2. Jangan melawan kepada ibu dan bapak
3. Jangan melawan kepada guru dan ratu(pemerintah)
4. Jangan berjudi dan mencuri
5. Jangan ria, takabur dan sombong
6. Jangan berbuat zinah
7. Jangan bohong dan licik
8. Jangan mabok-mabokan dan menghisap madat
9. Jangan jahil dan menganiaya sesama mahluk Tuhan
10. Jangan memetik tampa ijin, mengambil tampa minta,
11. Jangan suka iri hati dan dengki
12. Jangan suka tidak membayar hutang
13. Harus sopan santun, rendah hati dan saling harga menghargai diantara sesama manusia.
14. Berguru Cimande bukan untuk gagah-gahan , kesombongan dan ugal-ugalan tetapi untuk mencapai keselamatan dunia dan akhirat.
Patalekan Cimande dijelaskan sedemikian rupa dan diulang-ulang kepada calon murid hingga murid benar-benar memahaminya dan mematuhinya dengan dipegang tangannya oleh guru sebagai tanda kesanggupan .
Berikutnya guru membacakan do'a tawasul dan meneteskan air bercampur daun sirih ke mata sang murid (dipeureh) tradisi ini disebut upacara keceran untuk menajamkan pandangan mata.
Pada dasarnya Cimande ini berfungsi sebagai media siar agama Islam oleh karena itu ketaatan kepada Allah dan Rasulnya dengan menjalankan segala perintahnya dan menjahui larangannya merupakan syariat yang harus ditaati warga Cimande. Cimande merupakan pengisi dan pengekang nafsu hewani dan sifat-sifat lain yang dapat merugikan semua pihak. Hal ini Cimande bukan bertujuan untuk menguasai dan berkuasa atas diri manusia lainnya. Pada hakekatnya Talek Cimande adalah roh dari pencaknya, tampa Talek Cimande, pencak Cimande ibarat mayat yang menebarkan bau busuk yang menyesakkan.

Guguritan “Paranti Nyawer”


Asmarandana

Sim kuring nyuhunkeun widi
ka sadaya nu mayunan
bade nyelang heula nyawer
samemeh ngersakeun tuang
metakeun karasmian
galib talari karuhun
turunan ti Nabi Adam
Metik galibna nu alim
noeulad pituah pandita
didamel sundana bae
puguh pulunganeunnana
aya nu resep ngadangu
tah kieu ieu ungelna

Kinanti

pun sapun kang Sang Rumuhun
ka Batara ka Batari
ka Batara Naga Raja
ka sadaya pra Pohaci
ka Guru Ratu sadaya
noe calik jadi candoli

Kaulanun amit ampun
ka anu kagungan bumi
tobat ka para juragan
anu sami pada sumping
nu langgah di papajangan
tua anom jaler istri

Repeh sadaya nu kumpul
nu nyawer kaluli-luli
nyawer murangkalih sunat
nurutan jaman bihari
lampah sepuh nu baheula
nyuhunkeun salamet diri

Mentas ngaluluskeun laku
parantos ngabangbrangkeun galih
munjung ka ibu ka rama
ka nini sareng ka aki
ka bibi sareng ka paman
ku dumeh nembean sumping

cunduk bayuna ti timur
dongkap atmana ti hilir
kengingna lantang ti pasar
beunang ngajak samamargi
nya kenging ngandung ibuna
ti kang rama awit nitis

Kawitan ti asal enur
mulana asal ngajadi
sabulan sang kumpa herang
dua bulan kumpa hening
tilu bulan gulung rasa
opat sasih turun rohid

Lima sasih embut-embut
genep sasih bisa mali
tujuh sasih roh ka dua
dalapan sasih wahdati
ka salapan ujang medal,
nya sumping ka alam lahir

Lungsur ti marga rahayu
nya sumping ka marga bumi
sumear di alam padang
suka rama ibu nini
deudeuh jaya karantenan
pameget di kolong langit

Nangtung dina kuwung-kuwung
Mipir-mipir katumbiri
Nyukung dina teja mentrang
Nyeleket di kilat tatit
Pangawak hejo carulang
Watek kaimpungan wargi

Nyekel di palias jukut
Masing titih sugih mukti
Mangka luas beurat beunghar
Loba duit buncir leuit
Sugih keton rea ketan
Salira jadian siwi

Seuweu ratu kedah tumut
putra mantri kedah tilik
nu agung linggih di raja
nu endah lebah di gusti
dilingkung para juwita
dibanding para widadari

Guru ratu kudu tumut
Para wali nu ti gigir
Ibu ramana ti tengah
Ti pengkeren sanak wargi
Ti luhur para malaikat
Nu ngabagikeun rejeki

Puter kurung di pangambung
Bulu bitis kawas picis
Tapak jalak dina letah
Raja kalang dina pipi
Rajah wahana didada
Satria jalantir kuning

Nu nilik sakabeh wuyung
Nu ningal sadaya asih
Ngembeng panjang bubudina
Nu lungguh mindag ti peuting
Ulat manis ngembang mencrang
Midang siang anom sigit

Sinom

Sekar bingbin jangarian
Sekar kalapa cinugi
Sekar pinang di majangna
Sukur kamanjangan teuing
Disawer ku beas kuning
Beas beureum anu hurung
Kuningna kawas teja
Di tingalna langkung resmi
Ngagurilap herang mani siga emas

Nabi Yusup nu majengan
Disanding ku nabi Idris
Digenggem koe Rasululloh
Murub sakuriling diri
Nabi kabeh nu ngaraping
Lungguhna dina rahayu
Jayana kamanusaan
Calik di sanggiang sakti
Malaikat sadayana nu ngajaga

Ku Jabral disandingan
Jeung Malaikat Minkail
Isropil nya kitu pisan
Ngaraksa sakujur jisim
Nitipkeun beurang peuting
Ka sadaya nu kasebut
Kabeh para olia
Sinareng ka para wali, muga nganti sampurna dunya aherat

Kinanti

Payung tilu nungku-nungku
Payung tujuh nu nguriling
Payung dalapan ngajajar
Payung salapan ngabanding
Ulah katungkul ramana
Sareng ulah beurat galih

Kudu nganggit-nganggit kalmu
Kadah ngaraoskeun galih
Nu nyawer kedah sampurna
Supanten tumbalna matih
Panajem ulah katilar
Bati dagang kedah bijil

ucutkeun poponden rajut
pikeun tulak sial diri
malar tebih balaina
masingna parek rejeki
salamet panjang yuswana
dugi ka alam nu lahir

Neda ma’lum cukup lumur
Ka sadaya nu lalinggih
Ieu anu nyawer tamat
Geura lebet murangkalih
Calikkeun di papajangan,
Ondangan sumangga linggih

Wangsit Prabu Siliwangi

Jayana buta - buta heunteu pati lila; tapi, bongan kacida teuing nyangsara ka somah, loba somah anu pada ngarep-ngarep caringin reuntas di alun-alun.

Buta bakal jaradi wadal, wadal pamolahna sorangan.

Iraha mangsana ?

Engke mun geus tembong budak angon ! Ti dinya loba nu ribut; mimiti ti jero dapur, ti dapur laju salembur, ti lembur jadi sanagara !


Nu barodo jaradi gelo marantuan nu garelut, di kokolotan ku budak buncireung!

Matakna garelut ?

Marebutkeun warisan. Nu hawek hayang panglobana; nu teu hawek hayang loba; nu boga hak marenta bagianana.Ngan anu areling caricing. Ariyana mah ngalalajoan. Tapi kaborerang.

Nu garelut laju rareureuh. Laju kakara arengeuh kabeh ge taya nu meunang bagian. Sabab warisan sakabeh beak, beakna ku nu nyarekel gadean.

Buta - buta laju nyarusup, nu garelut jadi kareueung, sarieuneun ditempuhkeun leungitna nagara.

Laju nareangan budak angon, nu saungna di birit leuwi nu pantona batu satangtung, nu dihateupan ku handeuleum ditihangan ku hanjuang.

Nareangan budak tumbal, tapi sejana dek marenta tumbal. Tapi, budak angon enggeus euweuh, enggeus narindak babarengan jeung budak anu janggotan; geus mariang pindah ngababakan, parindah ka Lebak Cawene.

Nu kasampak ngan kari gagak, keur ngelak dina tutunggul.

Tabuik Pariaman (Provinsi Sumatera Barat)


Pengantar
Pariaman adalah salah satu kota yang berada di Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat, tepatnya di pesisir pantai (Laut Hindia) sebelah utara kota Padang. Pariaman, yang berarti “daerah yang aman”, memiliki luas wilayah 73,36 kilometer persegi. Di daerah ini ada suatu pesta adat yang disebut dengan tabuik. Kata tabuik yang berasal dari bahasa Arab dapat mempunyai beberapa pengertian. Pertama, tabuik diartikan sebagai ‘keranda’ atau ‘peti mati’. Sedangkan, pengertian yang lain mengatakan bahwa tabuik artinya adalah peti pusaka peninggalan Nabi Musa yang digunakan untuk menyimpan naskah perjanjian Bani Israel dengan Allah.

Perayaan tabuik yang diselenggarakan setiap 1--10 Muharam adalah suatu upacara untuk memperingati meninggalnya Husein (Cucu Nabi Muhamad SAW) pada 61 Hijriah yang bertepatan dengan 680 Masehi. Cucu Nabi Besar Muhammad ini dipenggal kepalanya oleh tentara Muawiyah dalam perang Karbala di Padang Karbala, Irak. Kematian tersebut diratapi oleh kaum Syiah di Timur Tengah dengan cara menyakiti tubuh mereka sendiri. Akhirnya tradisi mengenang kematian cucu Rasulullah tersebut menyebar ke sejumlah negara dengan cara yang berbeda-beda. Di Indonesia, selain di Pariaman, ritual mengenang peristiwa tersebut juga diadakan di Bengkulu. Dalam perayaan memperingati wafatnya Husein bin Ali, tabuik melambangkan janji Muawiyah untuk menyerahkan tongkat kekhalifahan kepada umat Islam, setelah ia meninggal. Namun, janji itu ternyata dilanggar dengan mengangkat Jasid (anaknya) sebagai putera mahkota.

Versi-versi Tabuik
Ada beberapa versi mengenai asal-usul perayaan tabuik di Pariaman. Versi pertama mengatakan bahwa tabuik dibawa oleh orang-orang Arab aliran Syiah yang datang ke Pulau Sumatera untuk berdagang. Sedangkan, versi lain (diambil dari catatan Snouck Hurgronje), mengatakan bahwa tradisi tabuik masuk ke Indonesia melalui dua gelombang. Gelombang pertama sekitar abad 14 M, tatkala Hikayat Muhammad diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu. Melalui buku itulah ritual tabuik dipelajari Anak Nagari. Sedangkan, gelombang kedua tabuik dibawa oleh bangsa Cipei/Sepoy (penganut Islam Syiah) yang dipimpin oleh Imam Kadar Ali. Bangsa Cipei/Sepoy ini berasal dari India yang oleh Inggris dijadikan serdadu ketika menguasai (mengambil alih) Bengkulu dari tangan Belanda (Traktat London, 1824). Orang-orang Cipei/Sepoy ini setiap tahun selalu mengadakan ritual untuk memperingati meninggalnya Husein. Lama-kelamaan ritual ini diikuti pula oleh masyarakat yang ada di Bengkulu dan meluas hingga ke Panian, Padang, Pariaman, Maninjau, Pidi, Banda Aceh, Melauboh dan Singkil. Dalam perkembangan berikutnya, ritual itu satu-persatu hilang dari daerah-daerah tersebut dan akhirnya hanya tinggal di dua tempat yaitu Bengkulu dengan sebutan Tabot dan Pariaman dengan sebutan Tabuik. Di Pariaman, awalnya tabuik diselenggarakan oleh Anak Nagari dalam bentuk Tabuik Adat. Namun, seiring dengan banyaknya wisatawan yang datang untuk menyaksikannya, pada tahun 1974 pengelolaan tabuik diambil alih oleh pemerintah daerah setempat dan dijadikan Tabuik Wisata.

Pesta Tabuik
Sebelum upacara adat tabuik dilaksanakan, dilakukan pembuatan tabuik di dua tempat, yaitu di pasar (tabuik pasar) dan subarang (tabuik subarang). Kedua tempat tersebut dipisahkan oleh aliran sungai yang membelah Kota Pariaman. Dahulu, selama berlangsungnya pesta tabuik selalu diikuti dengan perkelahian antara warga dari daerah pasar dan subarang. Bahkan, ada beberapa pasangan suami-isteri yang berpisah dan masing-masing kembali ke daerah asalnya di subarang dan pasar. Setelah upacara tabuik berakhir, suami-isteri tersebut kembali berkumpul dalam satu rumah. Walaupun korban terluka parah dalam perkelahian, namun ketika acara berakhir mereka bersatu kembali, sehingga suasana kembali semula (tenang dan damai).

Tabuik yang dibuat oleh kedua tempat ini terdiri dari dua bagian (atas dan bawah) yang tingginya dapat mencapai 12 meter. Bagian atas yang mewakili keranda berbentuk menara yang dihiasi dengan bunga dan kain beludru berwarna-warni. Sedangkan, bagian bawah berbentuk tubuh kuda, bersayap, berekor dan berkepala manusia. Bagian bawah ini mewakili bentuk burung Buraq yang dipercaya membawa Imam Hosein ke langit menghadap Yang Kuasa. Kedua bagian ini nantinya akan disatukan dengan cara bagian atas diusung secara beramai-ramai untuk disatukan dengan bagian bawah.. Setelah itu, berturut-turut dipasang sayap, ekor, bunga-bunga salapan dan terakhir kepala. Untuk menambah semangat para pengusung tabuik biasanya diiringi dengan musik gendang tasa.

Gendang tasa adalah sebutan bagi kelompok pemain gendang yang berjumlah tujuh orang. Mereka bertugas mengiringi acara penyatuan tabuik (tabuik naik pangkat). Gendang ini ada dua jenis. Jenis pertama disebut tasa didiang. Jenis ini dibuat dari tanah liat yang diolah sedemikian rupa, kemudian dikeringkan. Tasa didiang ini harus dipanaskan sebelum dimainkan. Jenis gendang kedua adalah yang terbuat dari plastik atau fiber dan dapat langsung dimainkan. Sebagai catatan, selama pesta yang lamanya 10 hari ada pertunjukan-pertunjukan lain, seperti: pawai tasawuf, pengajian yang melibatkan ibu-ibu dan murid-murid Tempat Pengajian Al Quran (TPA) dan Madrasah se-Kota Pariaman, grup drum band, tari-tarian, musik gambus, dan bahkan atraksi debus khas Pariaman.

Setelah penyatuan tabuik selesai (menjelang Zuhur), kedua tabuik yang merupakan personifikasi dari dua pasukan yang akan berperang dipajang berhadap-hadapan. Sebagai catatan, dalam acara pesta adat tabuik yang lamanya sekitar 10 hari (1--10 Muharam), ada beberapa tahap yang harus dilalui, yaitu: (1) pembuatan tabuik; (2) tabuik naik pangkat (menyatukan tiap-tiap bagian tabuik); (3) maambiak tanah (mengambil tanah yang dilakukan pada saat adzan Magrib). Pengambilan tanah tersebut mengandung makna simbolik bahwa manusia berasal dari tanah. Setelah diambil, tanah tadi diarak oleh ratusan orang dan akhirnya disimpan dalam daraga yang berukuran 3x3 meter, kemudian dibalut dengan kain putih. Lalu, diletakkan dalam peti bernama tabuik; (4) maambiak batang pisang (mengambil batang pisang dan ditanamkan dekat pusara); (5) maarak panja/jari (mengarak panja yang berisi jari-jari palsu keliling kampung). Maarak panja merupakan pencerminan pemberitahuan kepada pengikut Husein bahwa jari-jari tangan Husein yang mati terbunuh telah ditemukan; (6) maarak sorban (membawa sorban berkeliling) menandakan bahwa husein telah dipenggal; dan (7) membuang tabuik (membawa tabuik ke pantai dan dibuang ke laut).

Setelah waktu Ashar, di tengah ratusan ribu orang, kedua tabuik itu diarak keliling Kota Pariaman. Masing-masing tabuik dibawa oleh delapan orang pria. Menjelang senja, kedua tabuik dipertemukan kembali di Pantai Gandoriah. Pertemuan kedua tabuik di Pantai Gondariah ini merupakan acara puncak dari upacara tabuik, karena tidak lama setelah itu keduanya akan diadukan (sebagaimana layaknya perang di Karbala). Menjelang matahari terbenam kedua tabuik dibuang ke laut.

Prosesi pembuangan tabuik ke laut merupakan suatu bentuk kesepakatan masyarakat untuk membuang segenap sengketa dan perselisihan antar mereka. Selain itu, pembuangan tabuik juga melambangkan terbangnya buraq yang membawa jasad Husein ke Surga.

Esa Hilang, Dua Terbilang


Oh beginilah nasibnya soldadu,
diosol-osol jeung diadu-adu
tapi biar tidak apa asal untuk negeri kita
pasukan Siliwangi, saeutik ge mahi

Paduli teuing kuring keur ngabagong
nunarenjokeun entong loba omong
kieu soteh miceun tineung
da mun prung mah moal keueung
pasukan Siliwangi saeutik ge mahi

Mengapa Orang Sunda Sulit Melafalkan Huruf "F"?


Saya sering iseng bertanya, kenapa orang sunda kesulitan melafalkan huruf "F"? Kesulitan ini tidak hanya di temukan pada masyarakat awam, tapi juga pada masyarakat yang yang tergolong berpendidikan cukup tinggi. Saya pernah menemukan beberapa diktat kuliah Perguruan Tinggi Negeri ternama di Bandung, yang disusun oleh dosen asli Sunda, yang banyak memuat kekeliruan penulisan antara "F" dan "P". Sampai ada satu anekdot. Orang-orang Sunda suka membela diri dengan mengatakan, " Siapa bilang orang sunda tidak bisa bilang "F", itu teh Pitnah!, Pitnah!"

Memang huruf "F" bukan huruf dan lafal asli daerah Sunda. Huruf "F" berasal dari kosa kata bahasa Arab dan Eropa. Yang menarik adalah suku Jawa sebagai tetangga terdekat suku sunda tidak memiliki kesulitan yang berarti dalam melafalkan huruf "F", kecuali untuk beberapa masyarakat generasi sepuh di pedalaman Jawa. Padahal Jawa dan Sunda memiliki sejarah yang hampir sama dalam hal interaksi dengan bangsa asing yang telah membawa huruf "F" dalam budaya lisan dan literatur mereka.

Meruntut sejarah Sunda dan Jawa, huruf "F" pertama kali dibawa dan diperkenalkan oleh pedagang bangsa Arab, Persia dan Gujarat yang sekaligus juga menyebarkan agama Islam di Jawa pada abad ke-13. Bangsa Arab memiliki lafal "F" dari huruf asli "Fa' yang banyak digunakan dalam kosa kata mereka yang tersebar baik dalam bidang perdagangan maupun dalam bidang keagamaan.

Memang Islam lebih dulu memasuki suku Jawa dibanding suku Sunda. Tingkat penyebaran awal juga lebih luas dengan berdirinya kerajaan Demak yang disokong oleh Wali Sanga-nya.

Berdasarkan sumber sejarah tertulis, Carita Parahyangan, Islam dibawa ke Tatar Sunda oleh Bratalegawa, atau Haji Purwa, seorang saudagar dan pelayar besar yang juga merupakan anak Sang Bunisora -penguasa kerajaan Galuh. Ia menikah dengan seorang muslimah Gujarat, kemudian masuk Islam dan kembali ke Galuh pada tahun 1337 Masehi serta menyebarkan Islam di Cirebon (Caruban) Girang. Namun proses islamisasi Tatar Sunda secara massal baru pada abad ke -16, dengan adanya peran Syarif Hidayatullah atau dikenal dengan nama Sunan Gunung Jati di Cirebon. Dengan kedudukannya sebagai salah satu Wali Sanga, beliau mendapat dukungan dari Kerajaan Demak secara penuh. Dari Cirebon, Sunan Gunung Jati mengembangkan Islam ke Tatar Sunda lainnya, seperti Majalengka, Kuningan, Galuh (Kawali-Ciamis) , Sunda Kelapa dan Banten.

Untuk kasus di Jawa, modus penyebaran islam yang bergerak dari pesisir ke pedalaman membuat kita mudah memahami mengapa di daerah pedalaman, masih terdapat masyarakat, khususnya generasi sepuh, yang kesulitan melafalkan "F", misalnya ketika mengucapkan kata "film" (bahasa inggris) menjadi "pilem". Tapi secara general, hampir seluruh suku Jawa tidak kesulitan dalam melafalkan huruf "F".

Sedangkan di Tatar Sunda, kesulitan pelafalan "F" hampir menyeluruh dari pesisir pantai utara sampai pesisir pantai selatan, dari generasi tua sampai generasi sekarang. Kenapa? Saya mencoba menganalisisnya dan membuat teori untuk menjawabnya.

Huruf "F" lebih banyak tersebar ke masyarakat Jawa dan Sunda melalui bidang dakwah. Sebab bidang perdagangan hanya menyentuh beberapa gelintir masyarakat di daerah pesisir. Bedanya adalah mekanisme internalisasi Islam berikut budaya lisan dan tulisan yang melekat padanya.

Huruf "F" lebih mudah diserap oleh masyarakat Jawa akibat internalisasi Islam beserta budaya ikutannya (termasuk huruf "F") yang dilakukan melalui metode yang mudah diterima dan dipraktikan. Beberapa anggota Wali Sanga di Jawa banyak menggunakan media seni dan budaya. Yang paling fenomenal adalah peran Sunan Kalijaga dalam mengembangkan wayang purwa atau wayang kullit yang bercorak islam. Beberapa sunan lainnya juga dikenal sebagai ahli gubah tembang Jawa. Sunan Bonang (R. Makhdum Ibrahim) yang dianggap sebagai pencipta gending bermuatan islam. Sunan Drajat (R. Syarifudin) yang terkenal sebagai penggubah tembang Pangkur. Sunan Kudus (Ja'far Shadiq) yang terkenal dengan gubahan gending Maskumambang dan Mijil. Sunan Muria (R. Umar Said) yang menciptakan tembang dakwah Sinom dan Kinanti.

Melalui media seni dan budaya inilah, Islam dan budaya ikutannya menjadi lebih mudah diterima oleh masyarakat pada waktu itu, masyarakat agraris dengan komunikasi "getok tular". Dengan media seni, akulturasi kebudayaan, termasuk penggunaan dan pelafalan huruf "F" menjadi lebih mudah. Sebab ia tidak hanya digunakan saja dalam ranah ritual di masjid-masjid saja, tetapi budaya ikutannya telah memasuki ranah setiap sendi kehidupan masyarakat, melalui tembang-tembang yang dinyanyikan, melalui pertunjukan- pertunjukan seni yang mereka nikmati.

Memang dakwah di Sunda juga menggunakan media seni dan budaya juga, seperti wayang golek, dangding, guguritan, tradisi upacara (sawer orok, tingkeban, dll) akan tetapi penggunaan media ini tidak seintens seperti di tanah Jawa. Penggunaan media ini baru berkembang pasca Sunan Gunung Jati.

Mungkin ini bisa dipahami dari latar belakang Syarif Hidayatullah. Latar belakang personal beliau tidak bisa dilepaskan dari corak Islam di Tatar Sunda sebab perannya yang sangat sentral dalam penyebaran Islam di Tatar Sunda. Dalam usia 20 tahun, Beliau telah memiliki tingkat kefakihan yang mumpuni, hasil selama belajar Islam di Mekah, Madinah, sampai ke Baghdad. Sebelum berlayar ke Jawa, beliau pernah singgah di Pasai dan tinggal bersama Maulana Ishak. Latar belakang tersebut menyebabkan dakwah Sunan Gunung lebih "to the point".

Sunan Gunung Jati juga memiliki keunikan pendekatan dakwah melalui bidang pengobatan. Naskah-naskah kuno Cirebon hampir seluruhnya memberikan informasi tentang peran Sunan Gunung jati sebagai seorang tabib.

Pendekatan dakwah "to the point" membuat sedikit batas akulturasi kebudayaan Islam dengan budaya asli Sunda, khususnya penyerapan huruf "F" dalam budaya lisan Sunda. Huruf "F" hanya hidup di ranah agama, di lingkungan masjid. Akan tetapi huruf "F" tidak hidup dalam bidang kehidupan sehari-hari lainnya.

Analisis masalah kesulitan pelafalan huruf "F" oleh suku Sunda di atas baru dilihat dari sisi kemungkinan mekanisme akulturasi kebudayaan yang dominan. Sangat mungkin bahwa penyebab utamanya bukan karena itu. Misalnya pengaruh anatomi mulut masyarakat sunda dahulu. Atau pengaruh prestise trend pelafalan para elit Tatar Sunda waktu itu, seperti tren pengucapan "kan" menjadi "ken" pada masa orde baru. Semoga ahli bahasa Sunda, sejarah dan anthropolog ada yang berminat meneliti masalah ini.

Referensi:

1.
Bisri, Cik Hasan, Yeti Heryati, Eva Rufaidah (ed.). Pergumulan Islam dengan Kebudayaan Lokal di Tatar Sunda. Bandung: Kaki Langit, 2005
2.
Solihin, M. Melacak Pemikiran Tasawuf di Nusantara. Jakarta: Raja Grafindo Perkasa,2005

Friday, March 20, 2009

Roti Buaya, Stereotipe dan Budaya Betawi

Ada dua tema yang umumnya jadi bahan pembicaraan favorit para lajang pria: WANITA dan NIKAH. Bicara soal nikah, kita tahu ada beragam adat dan prosedur upacara pernikahan. Pada etnis Betawi, adanya roti buaya–ya, roti yang dibentuk serupa hewan buaya—merupakan hantaran wajib dalam perhelatan sakral tersebut. Umumnya dibuat sepasang, buaya jantan dan buaya betina.

Untuk buaya betina, di punggungnya dibuatkan seekor buaya kecil yang dimaksudkan sebagai anaknya. Dengan ukuran beragam, mulai dari 1 meter yang barangkali merupakan ukuran asli hewan buaya asli hingga ukuran yang sekadar sebagai pemantas, sepasang “buaya” tersebut diarak rombongan mempelai pria dengan 40 keranjang–konon, ini ukuran umum secara konsensus agar “layak” secara sosial dan adat–ke tempat mempelai wanita pada hari pernikahan. Dilengkapi dengan tradisi palang pintu–semacam tradisi penyambutan pengantin berupa berbalas pantun, adu silat dan adu baca Qur’an–roti buaya jadi menu wajib kendati umumnya bahan roti pembuatnya terlalu keras dan tidak begitu enak untuk disantap. Ya, roti buaya lebih cocok sebagai roti hiasan ketimbang sebagai penganan.

Seorang kawan yang bukan orang Betawi bertanya-tanya heran kepada saya,”Kenapa orang Betawi pakai simbol buaya? Itu kan hewan simbol playboy dan petualang cinta?”

Saya masih ingat saat itu saya hanya tersenyum seraya urut dada tipis ini. Stereotipe memang kejam dan lebih kejam dari sebuah fitnah. Ia adalah pembunuhan karakter. Buaya salah satu korbannya. Dalam kenyataannya, buaya adalah hewan berperilaku monogami. Ia hanya akan kawin (bukan “nikah” lho:) dengan satu buaya lainnya selama sang pasangan belum tutup usia. Buaya juga membangun rumah tangga dengan menempati kedung–sebutan untuk sarang buaya yang terletak di dasar sungai–bersama sang pasangan. Kehidupan monogami tersebut berlangsung hingga salah satu mati. Jika takdir menentukan salah satu tutup usia dulu, barulah yang lain cari pasangan baru.

Ya, kesetiaan. Itu pesan khusus dari kehadiran “buaya” dalam perhelatan pernikahan adat Betawi. Tidak seperti stereotipe yang salah kaprah mengorbankan buaya justru sebagai simbol playboy dan petualang cinta. Malangnya, stereotipe tersebut juga tak luput dialamatkan kepada etnis Betawi yang katanya tukang kawin. Duh, sedihnya!

Teh Talua (Teh Telur)






Bekal begadang sampai pagi, atau sajian gurih diwaktu sarapan pagi. Merupakan minuman khas dari Sumatera Barat. Terkenal dengan nama Teh Telur atau Teh Talua. Teh ini dikenal menggoyang lidah banget sama temen-temen saya dari berbagai kalangan. Ada yang bilang rasanya mirip seperti Capucino, dan ada juga yang bilang rasanya ngaldu. pokoknya nendang banget deh

Bahan:
1. 1 butir telur ayam kampung/2 butir telur ayam beras, atau telur itik
(biasanya 2 butir). Ambil kuningnya saja
2. Air panas. Secukupnya
3. Teh bubuk (kalau teh celup susah), secukupnya (biasanya 3 sendok makan)
4. Gula pasir 2 sendok makan
5. Jeruk nipis yang di belah (untuk menghilangkan bau amisnya telur dan menambah rasa segar).
6. Optional, bisa ditambah vanila, susu kental, madu.

Alat:
- pengocok telur, sendok juga bisa, atau lidi yang diikat seperti sapu (pendek saja)
- gelas.
- saringan teh

Cara membuat
1. Masukkan kuning telur kedalam gelas
2. Tambah gula pasir.
3. Kocok dengan alat pengocok telur, sampai kental, biasanya sudah mulai mengeras
seperti membuat kentalnya kue tar di dalam mixer.
4. Setelah kental biarkan dulu sebentar,
5. Ambil saringan teh, masukkan teh bubuk kedalam saringan tersebut.
6. Letakkan saringan yang telah berisi teh bubuk, diatas gelas 1 yang
berisi telur yang telah dikocok tadi
7. Ambil air panas, kemudian masukkan kedalam saringan teh.
8. Setelah air panas dimasukkan, nanti akan terbentuk seperti soda coke. Membuih
9. Masukkan air secukupnya sesuai dengan ukuran gelas.
10. Hati-hati perkirakan banyak airnya, karna bisa2 buihnya meluap keluar gelas.
12. Bisa ditambah dengan jeruk nipis yang diperas airnya sebagai penghilang amis.
11. Selesailah sudah silahkan diminum.

lebih mantap lagi kalau ditambah 1 sendok makan susu kental,seujung kuku vannila.

Surfing Mentawai


Surf Mentawai - Quick Facts

LOCATION: Indonesia, off the west coast of Sumatra
POPULATION: 10000
NATIONALITY: Indonesian
LANGUAGE:
CURRENCY: Indonesian Rupiah

Since the early 1990's surfers from around the globe have been visiting the Mentawai islands to experience untouched rainforest and superb waves. More than a dozen "worldclass" reefbreaks exists making it one the most surf infested regions in the world. Most spots host mechanical perfection and vary in intensity for all level of surfer, making it an ideal surf vacation location.

Indonesia is such a great place for surf. It has got the classic waves, the crystal clear warm water and the balmy days. What more could anyone want. The Mentawai islands are a relatively new surfing location, having only been surfed since the early 90's. Although the main island has loads of spots probably the best way to surf the Mentawai islands is by boat.

Our good friend the South Indian Ocean produces the swells that have the islands pumping from March through to November at 6-12ft, and the cyclone swells keep the surf rolling in throughout the remainder of the year. You go to Mentawai, you get surf! The calm winds ensure that the swells that do arrive are always of a high standard.

Top Mentawai waves include Bankvaults, Lance's Left and Lance's Right, Macaronis, and for the less experienced there is Gilligan's.

Just take a moment to look at the Mentawai Surfing Conditions summary table below - looks good eh!

Surfing Mentawai - The Good
Tropical Paradise / Warm Water
High Standard Swells

Surf Mentawai - The Bad and the Ugly
Pricey
Boats for the best spots required



Diambil dari: http://www.surfing-waves.com/travel/mentawai.htm


Betapa trenyuhnya saya akan iklan ini....

Jelas yang buat bukan orang Indonesia dan konsumsi untuk non warga Indonesia yang kita cintai

Kenangan Masa Kecil bersama Saung Mang Ujo


Kemarin sempet mengunjungi "Saung Mang Ujo" yaitu sanggar kesenian tradisionil Sunda yang didirikan oleh Ujo Wilagena, seorang Maestro Kesenian Sunda selain Daeng Sutikna.
Disanggar tersebut seolah olah terseret lagi ke masa heubeul waktu sering melakukan permainan pas "Caang Bulan Purnama"
Salah satu lagu yang sangat berkesan adalah lagu anak-anak yang dimainkan dengan angklung (rampak) sebagai berikut

"Abdi teh ayeuna gaduh hiji boneka
teu kinten saena sareng lucuna
ku abdi di-erokan, erokna sae pisan
cing mangga tingali boneka abdi"

Hanya terjemahan Bahasa Indonesianya menjadi begini;

"Melati, Kenanga Mawar Bakung Cempaka
Dahlia Kamboja semua bunga
Sungguh elok rupanya, serta harum baunya
Melati Kenanga semua bunga"

Selain itu masih ada pertunjukan lain seperti, demo wayang golek walaupun hanya di pertempurannya saja.
Kesenian lain yang ditampilkan adalah, helaran (khitanan), tari topeng menakjingga, dan arumba.
Yang paling berkesan adalah permainan angklung yang dilakukan oleh seluruh penonton dengan dipandu oleh salah seorang anak dari Ujo Wilagena.

Bagi yang berminat, sedikit informasi tambahan bahwa Saung Mang Ujo ada di Bandung di daerah Cicaheum, dan biaya menonton pertunjukannya adalah Rp50.000,-

Nan saliliek gunuang Merapi, nan saedaran gunuang Pasaman. Dari sirangkak ka badangkang, sinan buayo putieh daguak, sampai ka pintu rajo hilieh, durian di takuak rajo, sipisau-pisau hanyuik sialang balantak basi, dakek aie babaliek mudiak. Sailiran batang bangkaweh, sampai ka ombak nan badabuah, hinggo lawiek nan sadidieh, sahinggo Sikilang Aie Bangieh. Pasisieh Banda Sapuluah, hinggo taratak aie hitam, sampai ka Tanjuang Samalidu.

Alam Minangkabau adalah suatu daerah di tengah pulau Perca, yang meliputi keresidenan Sumatera Barat, Kuantan dan Kampar Kiri. Ke Utara sampai ke Sikilang Air Bangieh (berbatas dengan keresidenan Tapanuli), ke Timur sampai ke Taratak Air Hitam, berbatas dengan Indragiri sampai ke Sipisak Pisau hanyut, Durian di Takuk Raja, Tanjung Simalidu yaitu berbatas dengan Jambi dan ke Barat sampai ke Laut Nan Sadidih (Samudera Hindia).

Menurut Tambo, batas-batas daerah asli Minangkabau adalah sebelah selatan sampai ke Riak nan berdebur (Negeri Bandar Sepuluh, sekarang Kabupaten Pesisir Selatan dan Kerinci). Sebelah timur sampai ke Durian di Takuk Raja (sekarang batas Sumatera Barat dengan Indragiri) sampai ke Muara Takung Mudik (sekarang Alahan Panjang), sekeliling gunung Merapi, selingkung gunung Singgalang, sederetan gunung Pasaman sampai ke Sikilang Aie Bangieh (sebelah barat) dan sampai ke Taratak Air Hitam.

Persaudaraan, kekerabatan, kesukuan dan persekutuan

Dalam hidup ini tidak akan lepas dari istilah kekerabatan, persaudaraan, kesukuan ataupun persekutuan.
Yang perlu diingat untuk bergaul, kadang-kadang kita harus melepaskan diri dari hal tersebut diatas untuk dapat lebih obyektif dalam menilai kawan gaul kita.
Ada beberapa kali penulis mengalami kekecewaan berkaitan dengan hal tersebut, kesulitan terjadi terutama dalam hal pengurusan sesuatu terasa agak lambat apablia kita "bukan bagian" dari kekerabatan tersebut.
Baru-baru ini juga mulai terasa pada penulisan dalam milis, apabila kita bukan bagian dari pertemanan maka kemungkinan masukan kita dalam milis tersebut yang "sebagus" apapun tidak bakal mendapatkan respons sama sekali.
Trend seperti ini masih terasa kental dibumi kita ini dan akan sedikit mengganggu kreativitas seseorang.
Mudah-mudahan tulisan ini dapat menggugah yang lain untuk bersama-sama sling mengingatkan dan sedikit menyingkirkan dampak negatif dari hal tersebut.

IAW

TEMPAYAN RETAK


Seorang tukang air memiliki dua tempayan besar,

Masing-masing bergantung pada kedua ujung sebuah pikulan, yang dibawa menyilang pada bahunya.

Satu dari tempayan itu retak, sedangkan tempayan yang satunya lagi tidak.
Jika tempayan yang tidak retak itu selalu dapat membawa air penuh setelah perjalanan panjang dari mata air ke rumah majikannya, sedangkan Tempayan Retak hanya dapat membawa air setengah penuh.

Selama dua tahun, hal ini terjadi setiap hari.
Si tukang air hanya dapat membawa satu setengah tempayan air ke rumah majikannya.
Tentu saja si tempayan yang tidak retak merasa bangga akan prestasinya, karena dapat menunaikan tugasnya dengan sempurna.
Namun Si Tempayan Retak yang malang itu merasa malu sekali akan ketidaksempurnaannya.
Dan merasa sedih sebab ia hanya dapat memberikan setengah dari porsi yang seharusnya
dapat diberikannya.

Setelah dua tahun tertekan oleh kegagalan pahit ini, Tempayan Retak itu berkata kepada si tukang air,
" Saya sungguh malu pada diri saya sendiri, dan saya ingin mohon maaf kepadamu. "
" Kenapa? " tanya si tukang air,
" Kenapa kamu merasa malu? "
" Saya hanya mampu, selama dua tahun ini, membawa setengah porsi air dari yang seharusnya dapat saya bawa karena adanya retakan pada sisi saya telah membuat air yang saya bawa bocor sepanjang jalan menuju rumah majikan kita.
Karena cacatku itu, saya telah membuatmu rugi. " kata Tempayan itu.

Si tukang air merasa kasihan pada Si Tempayan Retak, Dan dalam belas kasihannya, ia berkata,
" Jika kita kembali ke rumah majikan besok, aku ingin kamu memperhatikan bunga-bunga indah di sepanjang jalan. "

Benar, ketika mereka naik ke bukit, Si Tempayan Retak memperhatikan dan baru menyadari bahwa ada bunga-bunga indah di sepanjang sisi jalan, dan itu membuatnya sedikit terhibur.
Namun pada akhir perjalanan, ia kembali sedih karena separuh air yang dibawanya
telah bocor, dan kembali Tempayan Retak itu meminta maaf pada si tukang air atas
kegagalannya.
Si tukang air berkata kepada Tempayan itu,
" Apakah kamu memperhatikan adanya bunga-bunga di sepanjang jalan di sisimu,
tapi tidak ada bunga di sepanjang jalan di sisi tempayan yang lain yang tidak retak itu

Itu karena aku selalu menyadari akan cacatmu. Dan aku memanfaatkannya.
Aku telah menanam benih-benih bunga di sepanjang jalan di sisimu,
Dan setiap hari jika kita berjalan pulang dari mata air, Kamu mengairi benih-benih itu .
Selama dua tahun ini aku telah dapat memetik bunga-bunga indah itu untuk menghias meja majikan kita.

Sumpah Pasunda Bubat Prabu Linggabuana

"Nihan nu rudirana pikalwah iking Bubat saba Mwang kamahatmiam ngku pasamudaya satria Sunda Tan atemohan ring nagara pada jaya mami ..."

Sanajan getih nepi ka ngamalir minuhan walungan tapi kahormatan jeung harga diri ku kami dipertahankeun.
Sanajan tepi ka kudu ajal, tapi lain di nagara kami jeung di hareupeun rahayat kami

Kembang Tanjung Panineungan


Anaking, jimat awaking,
basa Ema mulung tanjung rebun-rebun,
di pakarangan nu reumis kénéh,
harita keur kakandungan ku hidep.

Geus opat taun ka tukang,
ema nyipta mulung béntang,
nu marurag peuting tadi,
béntang seungit ditiiran, pangangguran.

Anaking, jimat awaking,
basa Ema mulung tanjung rebun-rebun.
bet henteu sangka aya nu datang,
ti gunung rék ngabéjakeun bapa hidep.

Nu opat poé teu mulang,
ngepung gunung pager bitis,
cenah tiwas peuting tadi,
layonna keur ka dieukeun, dipulangkeun.

Harita, waktu layonna geus datang,
ema ceurik, aduh, balilihan,
ras ka hidep, yeuh, na kandungan,
utun inji budak yatim, deudeuh teuing.

Harita, waktu layon geus digotong,
ema inget, geuning, kana tanjung,
dikalungkeun na pasaran,
kembang asih panganggeusan, ieuh, ti duaan.

Anaking, jimat awaking,
lamun ema mulung tanjung reujeung hidep,
kasuat-suat nya pipikiran,
tapina kedalna téh ku hariring.

Hariring éling ku éling,
kana tanjung nu dipulung, éh,
kembang tanjung nu nyeungitan pakarangan,
nu nyeungitan haté urang panineungan.

Ambidexterity


Ambidexterity is the state of being equally adept in the use of both right and left appendages (such as the hands). It is one of the most famous varieties of cross-dominance. People that are born ambidextrous are extremely rare. People that are made ambidextrous are called Penwald ambidextrous; they can also stop being both-handed.

Although ambidexterity is rare, ambidextrous people may still gravitate towards performing certain types of tasks with a specific hand. The degree of versatility with each hand is generally the qualitative factor in determining a person's ambidexterity.

In modern times, it is more common to find people considered ambidextrous who were originally left handed, and who learned to be ambidextrous either deliberately or during childhood in institutions such as schools where right-handed habits are often emphasized. Also, since many everyday devices are designed to be ergonomic only for right-handed people, many left-handed people choose to use the device with the right hand (for example, can openers or scissors). As a result, left-handed people are much more likely to develop motor skills in their non-dominant hand than right-handed people (who are not subjected to left-favoring devices). Ambidexterity is often encouraged in activities requiring a great deal of skill in both hands, such as juggling, swimming, percussion or keyboard music, word processing, surgery, body boxing, and combat.


Etymology

The word "ambidextrous" is derived from the Latin roots ambi, meaning "both," and dexter, meaning "right" or favorable. Thus, "ambidextrous" is literally "right on both sides." The term ambidexter in English was originally used in a legal sense of jurors who accepted bribes from both parties for their verdict. Jurors found guilty of such bribery had to forfeit decies tantum, ten times as much as they received. [1]


In sports

Baseball

Ambidexterity is highly prized in the sport of baseball. "Switch hitting" is the most common phenomenon, and is highly prized because a batter usually has a higher statistical chance of successfully hitting the baseball when it is thrown by an opposite handed pitcher. Therefore, an ambidextrous hitter can bat from whichever side is most advantageous to him or her in that situation. Pete Rose, who had more hits than anyone else in the history of Major League Baseball, was a "switch hitter."[1]

Ambidextrous pitchers have also been known. Tony Mullane won 284 games in the 19th century[2][3], and also Elton Chamberlain in 1888 and Larry Corcoran in 1884. Greg A. Harris is the only major league pitcher in the modern era to pitch with both his left and his right arm. A natural right-hander, by 1986 he could throw well enough with his left hand that he felt capable of pitching with either hand in a game. Harris wasn't allowed to throw left-handed in a regular-season game until September 28, 1995, the next-to-last game of his career. Against the Cincinnati Reds in the ninth inning, Harris (then a member of the Montreal Expos) retired Reggie Sanders pitching right-handed, then switched to his left hand for the next two hitters, Hal Morris and Ed Taubensee, who both batted left-handed. Harris walked Morris but got Taubensee to ground out. He then went back to his right hand to retire Bret Boone to end the inning. One Division I NCAA pitcher, Pat Venditte formerly of the Creighton Bluejays, now with the New York Yankees Staten Island Class A team, regularly pitches with both arms. Venditte won his first game as a professional on June 28th, striking out batters with both left and right-handed pitches. Venditte is consulting with ambidextrous guru Michael J. Lavery, the Co-Founder of Whole Brain Planet, Inc.[1] in an effort to improve not only his power but his ball control from the mound. Lavery is also working with Chuck Mellick, a Tracy, California semi-pro pitcher to help him accomplish his goal to set a Guinness World Record to be the first person to pitch over 90 miles-an-hour accurately with both arms. Lavery is also working with High School pitcher Matthew Berish and little leaguer Nick Bohannan.

Billy Wagner was a natural right-handed pitcher in his youth, but after breaking his throwing arm twice, he taught himself how to use his left arm by throwing nothing but fastballs against a barn wall. He became a dominant left-handed relief pitcher, most known for his 100+ MPH fastball. In his 1999 season, Wagner captured the National League Relief Man of the Year Award as a Houston Astro.

Pool

In pool and snooker, a player can reach farther across the table if they are able to play with either hand, since the cue must either be placed on the left or the right side of the body. English snooker player Ronnie O'Sullivan[4] is unique amongst the current ranks of top snooker professionals, in that he is able to play to world standard with his left hand. While he lacks power in his left arm, his ability to alternate hands allows him to take shots that would otherwise require awkward cueing. When he first displayed this ability in the 1996 World Championship against the Canadian player Alain Robidoux, Robidoux accused him of disrespect. O'Sullivan responded that he played better with his left hand than Robidoux could with his right.[5] O'Sullivan was summoned to a disciplinary hearing in response to Robidoux's formal complaint, where he had to prove that he could play to a high level with his left hand. He played three frames of snooker against former world championship runner-up Rex Williams, winning all three. The charge of bringing the game into disrepute was subsequently dropped.[6]

Other sports

Other sports in which a degree of cross-dominance can be useful include skateboarding, where trick execution from the switch-stance is acclaimed for its high degree of difficulty, basketball, where the player may choose to make a pass or shot with the weaker hand; hockey and ice hockey, where a player may shoot from the left or right-side of the body; and combat sports where the fighter may choose to face their opponent with either the left shoulder forward in a right-handed stance or the right shoulder forward in a left-handed stance. Ice hockey player Gordie Howe used a hockey stick with an uncurved blade, so he could use either hand.

Another ice hockey player, goaltender Bill Durnan, was nicknamed "Dr. Strangeglove" for his ability to catch the puck with both hands. This feat won him the Vezina Trophy, then for the National Hockey League's goalie with the lowest goals-against average, six times out of only seven seasons. He had developed this ability playing for church-league teams in Toronto and Montreal, to make up for his poor lateral movement.

In figure skating, most skaters who are right-handed spin and jump to the left, and vice-versa for left-handed individuals. Olympic Champion figure skater John Curry notably performed his jumps in one direction (anti-clockwise) while spinning predominantly in the other. Very few skaters have such an ability to perform jumps and spins in both directions, and it is now considered a "difficult variation" in spins under the ISU Judging System to rotate in the non-dominant direction. Michelle Kwan used an opposite-rotating camel spin in some of her programs as a signature move. No point bonus exists for opposite direction jumps or bi-directional combination jumps, despite their being much harder to perfect.

In skateboarding, a person is considered exceptionally talented if they can skate successfully with not only their dominant foot forward but also the less dominant. Hence the term "switch skating." Dominant switch skateboarders include Eric Koston, Guy Mariano, Jereme Rodgers, Paul Rodriguez, and Bob Burnquist.

It is much the same situation in surfing. Surfers who ride equally well in either stance are said to be surfing "switch-foot."

Some players find cross-dominance advantageous in golf, especially if a left-handed player utilizes right-handed clubs. Having more precise coordination with the left hand is believed to allow better-controlled, and stronger drives.

In tennis, a player may be able to reach balls on the backhand side more easily if they're able to use the weaker hand. Perfect examples of players who are ambidextrous include Luke Jensen [7].

In golf, Mac O'Grady was a touring pro who played right-handed, yet could play "scratch" (no handicap) golf left-handed. He lobbied the USGA for years to be certified as an amateur "lefty" and a pro "righty" to no avail.[8]

In athletics, Jonathan Edwards, a now-retired British triple jumper who still holds the world record in that event, was known to be able to kick with either foot while he played rugby. He displayed unprecedented ambidexterity while jumping off either foot during his competitive jumps.

In football, being able to kick with both feet provides more options for both passing and scoring, as well as the ability to play up both wings. Therefore, players with the ability to use their weaker foot with proficiency are valuable in any team.

Michael Beasley, one of the top rookies in the NBA, is ambidextrous.

In badminton, Uddhav Naik of India plays with his left hand. However, he plays bat sports with his right hand and white racket sports with his left hand. He writes with his left hand.

In American football, it is especially advantageous to be able to use both arms. Ambidextrous receivers can make one-handed catches with both hands, quarterbacks can roll out of the pocket and throw with either arm, confusing the defense, linemen can hold their shoulders square and produce an equal amount of power with both arms, and punters can handle a bad snap and roll out and punt with either leg, limiting the chance of a block.

Receivers and corners can play on both the strong and weak sides equally if they do not have a preference.

Tools

With respect to tools, ambidextrous may be used to mean that the tool may be used equally well with either hand; an "ambidextrous knife" refers to the opening mechanism on a folding knife. It can also mean that the tool can be interchanged between left and right in some other way, such as an "ambidextrous headset," which can be worn on either the left or right ear. [9] [10] Such devices may not be formally achiral, but interchangeable between different modes.

Music

Michael Angelo Batio is able to play two guitars at the same time either in synchronization or using separate harmonies, as shown when he plays his famous Double-Guitar. Though naturally left-handed, he plays as a right-handed person when playing one guitar.