Tuesday, March 31, 2009

Pemekaran Suku Minangkabau

Pemekaran Suku
Semakin banyak anak perempuan dilahirkan dalam satu suku, semakin cepat suku itu berkembang dan menjadi besar.
Ini bukanlah lantaran hukum alam, hanya wanita yang dapat melahirkan tapi justru karena ketentuan adat Minangkabau yang menetapkan garis keturunan garis ibu.

Sebaliknya bila sedikit anak perempuan dilahirkan dalam satu suku, maka menciutlah suku itu dengan cepat, dan kalau tidak ada anak perempuan yang dilahirkan pada generasi terakhir maka "Punahlah" suku itu.
Hal inilah yang sangat merisaukan orang Minang, karena pupuslah keturunannya di ranah Minang. Begitu pula seorang pria Minang kawin dengan wanita bukan Minang, maka bagi yang bersangkutan "putuslah" hubungan kekerabatannya dengan ranah Minang. Tidak ada kompromi dan toleransi dalam hal ini siapapun dan jabatan apapun dia.
Yang mungkin untuk menghindarkannya hanya menerapkan azas "Malakok" sebagai yang telah diuraikan diatas.
Bila suku telah bertambah besar, baik karena berkembang biak, maupun karena bertambahnya kemenakan baru dalam hubungan "batali-budi" maupun dalam hubungan "batali-emas" menimbulkan masalah dalam hubungan antara anggota di dalam pesukuan itu sendiri.
Masalah itu antara lain :
1. Kemampuan Penghulu selaku kapala suku, untuk memimpin dan membimbing kemenakan yang telah berkembang biak. Di lain pihak Penghulu yang menjadi suami dan ayah anak-anaknya sesuai dengan tuntutan zaman, tidak dapat pula mengabaikan tanggung jawabnya terhadap istri dan anak-anaknya sendiri, sehingga Penghulu sudah sulit membagi waktu untuk dapat menjalankan fungsinya sebagai suami dan ayah di lain pihak.
2. Kecenderungan "ganggam ba-untuak, miliak ba-masiang" serta dorongan ke arah hubungan keluarga kecil sebagai akibat pengaruh individualisme-barat, telah menimbulkan keinginan masing-masing "buah paruik" dalam satu suku membagi harta pusaka tinggi.
3. Semakin besarnya peranan ayah dalam suatu rumah tangga dan beralihnya sumber penghidupan dari pertanian ke arah industrialisasi, birokrasi-pemerintahan dan sektor jasa, mengakibatkan peranan Harta Pusaka Rendah, khususnya Harta Pencarian menjadi lebih dominan dalam menunjang kehidupan keluarga.
Ketiga masalah diatas mendorong ke arah pemekaran atau pemecahan suku, atau mendorong kearah terbentuknya suku baru dan Penghulu baru.
Suku baru dan Penghulu baru ini tetap dalam rumpun yang sama sehingga mereka itu disebut sebagai Kaum yang SERUMPUN atau SESUDUT.
Sekalipun pemekaran atau pembentukan suku baru semacam ini dapat mengatasi masalah kepemimpinan suku, dengan diangkatnya Penghulu baru dapat juga mengatasi pemilihan bersama (komunal-bezit) atau Harta Pusaka Tinggi, menjadi pemilikan bersama kelompok yang lebih kecil, namum tak dapat mengatasi "hambatan" yang timbul dalam perkawinan yang bersyarat Eksogami suku.
Ada nagari yang membolehkan perkawinan antara suku yang serumpun, tapi ada juga yang tidak.
Seyogianya perkawinan eksogami diartikan sebagai perkawinan-perkawinan antara suku, termasuk antara suku yang serumpun dalam satu nagari.
Dengan cara ini akan memperbesar kemungkinan perkawinan antara suku Minang sendiri.

Proses Pemekaran Suku.
Proses pemekaran dapat ditempuh dengan salah satu cara sebagai berikut :

1. Gadang-Menyimpang
Bila kemenakan batali darah atau lazim juga disebut kemenakan dibawah dagu sudah berkembang biak, maka dibentuk suku baru dengan penghulu baru pula. Kalau suku asal bernama suku jambak dengan penghulu Datuk Tumenggung, maka suku baru diberi nama Jambak-hilir karena kebanyakan kemenakan yang mendirikan suku baru ini berdomisili dibagian hilir dari domilsili suku asli. Begitu pula Penghulu suku-suku baru ini memakai gelar Datuk Tumanggung juga, tapi ditambah misalnya menjadi Datuk Tumanggung Sati.

2. Menggunting sibar-baju
Sibar baju artinya "pinggiran atau tepi baju"
Bila kemenakan batali budi atau biasa juga disebut kemenakan dibawah pusat sudah berkembang biak, maka dapat pula dibentuk suku baru dengan Penghulu baru pula. Nama suku baru itu seperti disebut dalam point 1 diatas dan nama Penghulu baru itu dapat ditambah dengan kata "nan" menjadi Datuk Tumanggung nan Sati.

3. Baju Sahalai Dibagi Duo
Bila "tungganai" berebut untuk menjadi Penghulu dan dapat kata sepakat antara tungganai itu, maka daripada "gala balipek" dalam arti kata tidak ada Penghulu di dalam pesukuan itu, terpaksa suku yang ada di bagi dua.
Nama suku baru itu sama dengan point 1 diatas, dan gelar Penghulu di masing-masing suku itu memakai gelar yang sama juga disebut : Deta (destar) sehalai di bagi duo.

4. Suku-baru
Bila kemenakan batali emas atau lazim disebut juga dengan kemenakan dibawah lutut telah berkembang biak, untuk mereka dapat pula diberikan suku baru dengan nama suku baru seperti yang disebut dalam point 1, namum dengan gelar penghulu yang baru pula. Gelar itu misalnya Datuk Palimo Kayo, karena kemenakan bertali emas itu tadinya berasal usul keturunan Panglima Perang Aceh yang kaya raya, sehingga cocoklah di ranah minang dia diberi gelar Datuk Palimo Kayo. Begitu juga kemenakan bertali-emas yang berasal dari keturunan maharaja Majapahit misalnya, maka penghulu baru itu dapat saja diberi gelar datuk Seri Marajo Dirajo.

5. Belahan Suku
Bila suatu suku bertambah besar juga atau sebagian kemenakan ingin merubah penghidupan di tempat lain, maka mereka mulai merintis "taratak" dan dusun baru di nagari lain.
Di taratak dan dusun baru itu mereka memakai nama "suku asalnya". Kalau di nagari asal mereka mempunyai suku "Chaniago" maka dusun yang baru mereka memakai nama suku "Chaniago" pula.
Hubungan mereka dengan dunsanak di nagari asal tetap terpelihara. Setidaknya setiap menjelang puasa mereka saling kunjung-mengunjungi. Suku baru di nagari baru ini namanya "balahan". Orang Sungai Pua misalnya berbalahan ke nagari daerah Padang Panjang dan Rantau (Pariaman). Balahan ini bisa di daerah Luhak Nan Tigo, juga bisa sampai didaerah rantau.
Prinsip "balahan" ini sesungguhnya tepat sekali untuk di kembangkan di daerah rantau baru seperti di Jawa sekarang ini untuk menjamin kelestarian dan keakraban pesukuan Minang di rantau. Apa salahnya kalau orang Sungai Pua mempunyai belahan suku tidak saja di Luhak nan Tigo dan daerah rantau, mempunyai belahan suku di daerah Jawa umpamanya di Cimahi (Jabar) dlsb.
Orang Bonjol dan Pariaman mempunyai balahan suku di negara bagian Selangor seperti di Kajang, Klang dan Kuala Lumpur.

Apa salahnya pula istri-istri non Minang diangkat menjadi kemenakan tumpangan dalam pesukuan Minang, sehingga mereka mantap menjadi warga Minang dan sesuai dengan harapan dan dambaan mereka dengan bersuamikan orang Minang. Patut dicatat pada umumnya istri-istri non-Minang adalah mereka menganut garis keturunan "Patrilinial" atau Bilateral sehingga bergitu mereka kawin dengan pria Minang, sesungguhnya mereka mendambakan dapat diterima dalam pesukuan Minang, khususnya anak-anak mereka.
Kalau anak-anak lahir dari ibu Jawa atau Sunda dari seorang suami Minang, ditanya : "Kamu orang mana ?", maka dengan lantang pada umumnya mereka menjawab : "Orang Minang atau orang Padang". Karena begitulah ibu-ibu mereka mengajarkan sesuai dengan garis keturunan "Patrilinial" atau "Bilateral".
Apa salahnya kebanggaan sebagai orang Minang ini kita mantapkan dengan memberikan pengukuhan mereka sebagai "Suku Minang".
Banyak orang-orang non-Minang yang mempunyai ikatan kekerabatan di Minang, mengaku dan malah bangga sebagai orang Minang, bahkan banyak istri-istri non-Minang yang telah berdomisili di ranah Minang puluhan tahun, beranak pinak di ranah Minang, berbahasa Minang, beradat-istiadat Minang, berbudaya Minang dan juga tidak dikukuhkan dalam pesukuan Minang.
Asa salahnya kalau bagi mereka dibukakan pintu pembentukan "suku baru" atau sebagai "belahan suku lama" melalui proses "Malakok" yang sudah diisyaratkan dan dimungkinkan oleh aturan adat kita sendiri. Kenapa kita tidak mau membukakan "pintu hati" kita ke arah ini.
Semoga menjadi bahan pemikiran kita semua dalam rangka pelestarian suku Minang khusunya dan sebagai salah satu upaya akomodatif dalam kerangka dasar "Bhineka Tunggal Ika" bangsa Indonesia yang sama-sama kita cintai ini.
Marilah kita mulai dengan memberikan secercah cinta kasih anak pisang kita sendiri dari suku manapun dia berasal.

--- oOo ---

No comments:

Post a Comment

Silahkan isi komentar anda