Friday, March 20, 2009

Roti Buaya, Stereotipe dan Budaya Betawi

Ada dua tema yang umumnya jadi bahan pembicaraan favorit para lajang pria: WANITA dan NIKAH. Bicara soal nikah, kita tahu ada beragam adat dan prosedur upacara pernikahan. Pada etnis Betawi, adanya roti buaya–ya, roti yang dibentuk serupa hewan buaya—merupakan hantaran wajib dalam perhelatan sakral tersebut. Umumnya dibuat sepasang, buaya jantan dan buaya betina.

Untuk buaya betina, di punggungnya dibuatkan seekor buaya kecil yang dimaksudkan sebagai anaknya. Dengan ukuran beragam, mulai dari 1 meter yang barangkali merupakan ukuran asli hewan buaya asli hingga ukuran yang sekadar sebagai pemantas, sepasang “buaya” tersebut diarak rombongan mempelai pria dengan 40 keranjang–konon, ini ukuran umum secara konsensus agar “layak” secara sosial dan adat–ke tempat mempelai wanita pada hari pernikahan. Dilengkapi dengan tradisi palang pintu–semacam tradisi penyambutan pengantin berupa berbalas pantun, adu silat dan adu baca Qur’an–roti buaya jadi menu wajib kendati umumnya bahan roti pembuatnya terlalu keras dan tidak begitu enak untuk disantap. Ya, roti buaya lebih cocok sebagai roti hiasan ketimbang sebagai penganan.

Seorang kawan yang bukan orang Betawi bertanya-tanya heran kepada saya,”Kenapa orang Betawi pakai simbol buaya? Itu kan hewan simbol playboy dan petualang cinta?”

Saya masih ingat saat itu saya hanya tersenyum seraya urut dada tipis ini. Stereotipe memang kejam dan lebih kejam dari sebuah fitnah. Ia adalah pembunuhan karakter. Buaya salah satu korbannya. Dalam kenyataannya, buaya adalah hewan berperilaku monogami. Ia hanya akan kawin (bukan “nikah” lho:) dengan satu buaya lainnya selama sang pasangan belum tutup usia. Buaya juga membangun rumah tangga dengan menempati kedung–sebutan untuk sarang buaya yang terletak di dasar sungai–bersama sang pasangan. Kehidupan monogami tersebut berlangsung hingga salah satu mati. Jika takdir menentukan salah satu tutup usia dulu, barulah yang lain cari pasangan baru.

Ya, kesetiaan. Itu pesan khusus dari kehadiran “buaya” dalam perhelatan pernikahan adat Betawi. Tidak seperti stereotipe yang salah kaprah mengorbankan buaya justru sebagai simbol playboy dan petualang cinta. Malangnya, stereotipe tersebut juga tak luput dialamatkan kepada etnis Betawi yang katanya tukang kawin. Duh, sedihnya!

1 comment:

Silahkan isi komentar anda